all is well

Jatuh cinta pada seseorang dan dicintai balik adalah sebuah privilese. Saat kau sedang jatuh cinta, sebenarnya saat itu juga kau dengan cuma-cuma memberikan hatimu untuk orang itu, menyuguhkan keputusan bebas kepada mereka entah untuk menjaga atau menyakiti hatimu.

Karena itulah kini Atsumu duduk di hadapan Sakusa, dengan alunan musik radio dari speaker cafe mengisi udara diantara mereka.

“Jadi lo mau ngomongin apa?” tanya Sakusa.

Atsumu menarik nafas panjang, memantapkah pilihannya. “Lo inget gak, awal-awal pas kita kenal, lo pernah bilang kalau gue pake topeng? Kayak ada sesuatu yg gue sembunyiin dari orang-orang,” mulainya.

Sakusa mengangguk. “Inget.”

“Tapi kalo kata gue, lo juga sama aja,” ujar Atsumu. “Lo juga pake topeng. Selama ini lo push people away karena lo takut bakal ditinggal sama orang-orang. Padahal aslinya lo juga sama aja kan kayak gue? Lo butuh seseorang juga kan aslinya?”

Sakusa hanya terdiam memandangi Atsumu, mengisyaratkannya untuk lanjut bicara. “Gue putus sama Hinata gara-gara lo,” ujar Atsumu, akhirnya mengeluarkan semua isi hatinya. “Gara-gara gue masih suka sama lo. And it’s stupid isn’t it? Bisa-bisanya I like someone else more than my own soulmate. Orang yang udah nyakitin gue pula.”

“Tapi… in a way, gue udah nyakitin lo juga gak sih?” Atsumu tersenyum miris. “Malem pas kita berantem itu, gue minta lo buat stay sama gue, padahal gue sendiri masih terpaku banget deep down kepengen nemuin soulmate gue. Itu gak adil juga kan buat lo? Gue minta maaf ya.”

Sakusa tampak terperangah. “Lo… lo masih suka sama gue? Setelah semuanya kemaren?”

Atsumu mengangguk. “Somehow, yes.

“Atsumu…”

“Tapi jujur, kalo lo nanya kemaren, bisa gak kita mulai semuanya dari awal? Jawabannya gue takut,” Atsumu menghela nafas. “I’m afraid of messing this up… kita gak punya red string buat menghubungkan kita. There’s nothing binding us. Gue takut tiba-tiba lo ngerasa gue gak worth it dan pergi begitu aja—”

“Gue takut juga,” potong Sakusa. “Kalo tiba-tiba lo mutusin lo mau merjuangin hubungan lo sama soulmate lo lagi… gue punya hak apa? Tapi… kalo misalnya ini lo beneran mau ngasih gue kesempatan…”

“Gue sama Hinata kayaknya lebih cocok as platonic soulmates, jadi temen,” ujar Atsumu. Ia juga teringat kembarannya, Osamu, yang tampak menyembunyikan fakta kalau ia sendiri tidak terlalu nyaman dengan soulmatenya. Sepertinya, memang masalah hati hanya diri sendiri yang paham dan harus menentukan pada akhirnya.

“Pas gue sama dia beda rasanya… kayak pas gue sama lo…”

“Jadi… jawaban lo iya?” tanya Sakusa. “Lo mau mulai dari awal lagi sama gue?”

Atsumu, kini merasa seluruh beban di bahunya terangkat, mengangguk mantap. “Iya.”

Sakusa tampak sangat lega, rona merah menghiasi pipinya. Ia melirik ke tangan Atsumu yang tergeletak di atas meja.

“Gue boleh pegang tangan lo?”

“Hah? Eh, yaudah pegang aja kenapa izin,” ujar Atsumu, salah tingkah.

Ketika tangan mereka saling menggenggam, Atsumu pun sadar— ini yang ia nantikan sejak dulu. Tidak ada benang merah atau apapun yang saling menghubungkan jari kelingking mereka, but everything seems to fall into place.

Sakusa feels like home.

“Biasanya orang pacaran tuh kenalan, PDKT, pacaran terus baru ngamar,” ujar Sakusa tiba-tiba, ia tampak malu-malu. “Karena kita kemaren kebalikan langsung skip ke tidur bareng… so, let’s just take things slowly this time? Kali ini kita kenalan lebih dalam dulu sama satu sama lain properly.”

Atsumu tertawa. Baru pertama kali ia melihat Sakusa mati gaya seperti ini. “Sounds good.”

Setelah itu, mereka pun larut mengobrol dan tertawa-tawa bersama di cafe itu hingga matahari terbenam. Berkenalan, mencari tahu tentang satu sama lain lebih dalam, mengungkapkan semua perasaan— perasaan yang selama ini terpendam.

Pada malam harinya, Sakusa tidak masuk ke kamar Atsumu, ia hanya berdiri di ambang pintu kamarnya. Jemari Atsumu meringkuk dengan hati-hati di lengan baju Sakusa selagi Sakusa menurunkan wajahnya untuk mencium Atsumu— hati keduanya berdegup dengan kencang, seakan-akan itu adalah ciuman pertama mereka.

Malam hari itu Sakusa tidak menemani Atsumu tidur, tapi Atsumu bangun keesokan paginya dengan bahagia, sebuah emosi yang sudah lama tidak ia rasakan. Tidak lagi ia bangun tidur melirik jari kelingkingnya— menumpukan pilihan hidupnya pada sebatas benang merah.

Ia bangun tidur, tersenyum melihat pesan dari Sakusa mengajaknya sarapan bareng dan kemudian segera bersiap-siap.

All in all, everything ends up well. Apapun yang terjadi di masa depan, Atsumu tahu ia tidak akan menyesali pilihannya ini.