be my mistake

warning: explicit nsfw scenes. read at your own risk


“Yang bagian ini dipindahin kesini aja jadinya,” Sakusa menunjuk tabel yang terbuka di layar laptopnya. Saat itu keduanya sedang duduk di lantai apartemen studio milik Atsumu, dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Atsumu menyerngit. “Yang ini dikosongin aja?”

“Iya, soalnya divisi kesenian belum ngasih budget mereka,” jawab Sakusa. “Nanti ingetin gue ya buat nagih.”

“Oh oke. Jadi udah nih?” tanya Atsumu.

“Udah,” sahut Sakusa sambil menutup macbook miliknya. Ia melirik ke arah pintu, seolah mengisyaratkan kalau ia tidak ingin berlama-lama disitu lebih dari yang diperlukan.

Jujur, bagi Atsumu, Sakusa sangat menyebalkan, mulai dari segala tingkah pura-pura tidak ingat dan acuh tak acuhnya. Tapi karena satu dan lain hal yang tidak ia mengerti, Atsumu tidak ingin Sakusa pergi begitu saja saat itu. Seolah-olah, ada suatu hal yang menariknya kepada orang itu, walaupun tentu saja Atsumu lebih baik putus kuliah daripada mengakuinya terang-terangan.

Sebuah hal yang lucu, mengingat mereka sepasang soulmate saja bukan.

“Lo gamau pesen makanan atau apa dulu?” tawar Atsumu kemudian tanpa berpikir panjang.

Sakusa mengerutkan dahinya. “Lo bukannya abis ketemuan sama temen lo? Emangnya lo gak makan tadi?”

Salah tingkah, Atsumu langsung mengibaskan tangannya. “Ya gue udah laper lagi.”

“Gak usah, gue udah makan,” timpal Sakusa kemudian. Tetapi habis itu ia terdiam, tidak lagi menunjukkan tanda-tanda ingin segera cabut pergi.

Mendadak mendapat ide, Atsumu lantas bangkit dan membuka kulkas miliknya, mengeluarkan sebotol soju yang ia beli beberapa hari yang lalu. Ia pun tersenyum miring. “Kalo sharing ini, mau gak lo?”

Sakusa tampak menimbang-nimbang jawabannya sesaat sebelum akhirnya ia menaikkan bahunya. “Why not.

Begitu Atsumu selesai menuang minuman itu ke gelas yang tersedia, mereka berdua pun duduk dalam keheningan sambil menenggak minuman masing-masing. Hanya suara detak jam dan alunan lagu-lagu The Neighbourhood dari laptop Atsumu yang menyelimuti apartemen itu.

Begitu Atsumu merasa kepalanya mulai ringan dan tubuhnya menghangat, ia pun berdeham memecah keheningan. “Gue mau nanya satu hal dong.”

Sakusa menyesap minumannya, terlihat masih seratus persen sadar. “Gue tebak ya pertanyaan lo.”

Atsumu menaikkan alisnya. “Hah?”

“Kenapa gue pura-pura gak inget lo kemarin?”

“Oh kalo itu sih I figure emang lo brengsek aja,” Atsumu terkekeh. “Tapi gue gak mau nanya itu sih. Gue mau nanya… kenapa lo ngajak ketemuan? Sebenernya ngerjain ginian lewat chat atau telfon aja juga bisa.”

Sakusa menghela nafas. “Gue juga gak tau, pengen aja.”

“Pengen ketemuan sama gue?” sahut Atsumu, playing with fire.

Maybe.

Atsumu mendengus. “Aneh lo.”

Sakusa tersenyum miring. Kemudian, dengan pandangan masih terpatri pada tembok Atsumu, ia berkata, “Gue minta maaf.”

“Hah?”

“Selama ini gue one night stand gak pernah sama orang yang possibly bakal gue ketemu lagi, jadi gue gak pernah ada masalah langsung cabut tanpa ngasih penjelasan apa-apa,” ungkap Sakusa. “But that was a dick move, I admit. Harusnya pas rapat kemaren gue gak pura-pura gak kenal lo kayak gitu. Maaf juga udah ngacangin dm twitter lo.”

Atsumu mendengus. “Gue ngerti kok konsep one night stand, dan ya emang that was shitty, but let’s be clear here, gue gak ada maksud apa-apa juga sama lo.”

“Makanya maaf ya,” ujar Sakusa. “Lagian kalo mau bilang kita udah kenal, bingung juga ngomongnya gimana ke Kitashin.”

“Harusnya lo ngomong aja, ‘udah kenal kok, kita habis 2 ronde semalem’.”

Mendengar hal itu, Sakusa refleks tertawa. Itu adalah pertama kalinya Atsumu mendengar tawa lepas pria tersebut dan Atsumu tertegun. Sial. Pria disampingnya itu menjengkelkan dan membingungkan— but he’s sure is attractive.

You’re staring again.

Atsumu tersentak dari lamunannya. “Hah?”

“Pas di club kemaren juga,” ujar Sakusa. “Lo ngeliatin gue terus.”

“Oh.” Alkohol dalam sistemnya membuat Atsumu tidak bisa bereaksi banyak. “Apa itu bikin lo gak nyaman?”

Sakusa bergerak mendekat, hingga kini kaki mereka bersentuhan. “Gapapa sih. Karena gue juga merhatiin lo kemaren.”

“Oh ya? Apa yang lo liat?”

“Gue liat… kalo lo tuh semacam masang topeng gitu di depan orang-orang banyak.”

Atsumu menaikkan alisnya. “Hah? Coba jelasin.”

“Pas bareng anak-anak, lo ketawa-tawa kayak you don’t give a shit about anything. Lo juga berisik banget. Kalo lagi ngobrol juga you have to be the loudest in the room, seolah-olah itu kompensasi atas suatu hal lain. Tapi gue juga liat sesekali lo pasti bakal menjauh dari yang lain buat duduk sendiri dan muka lo keliatan… kesepian? Berjarak? Seakan there’s a side of you yang sengaja gak lo tunjukin ke orang banyak. Jadi, ya, topeng.”

“Ini lo lagi role play jadi therapist gue ceritanya sekarang?” Atsumu mendengus, sedikit merasa tersinggung karena apa yang dikatakan Sakusa ada benarnya. “Lo aja gak kenal sama gue.”

“Ya emang enggak. Gue aja gak tau sekarang ini mau lo apa,” sahut Sakusa sambil meletakkan gelasnya di lantai. “Tapi gara-gara itu…”

“Gara-gara itu…?”

“Gue pengen… ngelepas topeng lo itu dulu sebentar,” ujar Sakusa, sukses membuat Atsumu tertegun. “Atas izin lo, tentu saja.”

Atsumu seharusnya sudah belajar dari pengalamannya. Last week was a mistake. He’s just setting himself for another heartbreak. Orang seperti dirinya, yang terbuai oleh idealisme manis yang dijanjikan konsep ‘soulmate’ semenjak kecil, sudah dipastikan tidak akan berhasil menavigasi hubungan yang hanya akan menuntut kepuasan fisik.

Tapi Atsumu juga manusia. Terkadang, dering keras alarm peringatan dalam pikiran pun terkalahkan oleh bisikan-bisikan dari hati.

Untuk kedua kalinya dalam minggu itu, Atsumu mengangguk. Ia memajukan kepalanya ke depan, and Sakusa meets him halfway.

Sakusa memagut bibir keduanya dengan satu tangannya di leher Atsumu, sementara tangan Atsumu mencengkram erat kain hoodie milik Sakusa. Semakin panjang dan bergairah ciuman mereka, semakin terasa seakan ada ledakan bintang-bintang di balik kelopak mata Atsumu. Dalam satu gerakan, Atsumu bangkit duduk di atas pangkuan Sakusa, menarik wajah Sakusa dan memperdalam ciuman mereka. Lidah mereka bergerak mendesak satu sama lain, bertukar sisa-sisa alkohol yang masih meresap di rongga mulut mereka.

“Miya.” Suara Sakusa terasa seperti kain sutra, lembut menyapu pipi Atsumu.

Sakusa menyender lebih jauh ke sofa di belakangnya, jemarinya menari-nari di atas paha Atsumu, semakin ke atas hingga ia menyentuh bagian pinggang Atsumu yang tidak tertutupi pakaian. Tangan Sakusa terasa dingin bagaikan es di kulit Atsumu, tapi itu tidak menghentikan Atsumu dari tetap menciumi lelaki berambut keriting itu seakan-akan hidup dan matinya bergantung pada hal itu.

Tak lama, Sakusa menarik bibirnya menjauh dan meninggalkan ciuman-ciuman yang disertai gigitan kecil sepanjang rahang dan leher Atsumu, membuat Atsumu tanpa sadar mengeluarkan desahan-desahan kecil.

“Sama kayak kemaren. Lo masih sensitif di bagian ini,” bisik Sakusa sambil lanjut meninggalkan tanda-tanda kemerahan di leher Atsumu.

“Diem lo,” Atsumu mengerang, mencengkram bahu Sakusa. Kemudian, dengan nafas terengah-engah, ia bertanya, “Mau pindah ke kasur?”

“Dengan senang hati.” Sakusa bangkit dan membiarkan Atsumu menariknya ke kasur. Atsumu tidak pernah se-forward ini, tapi pengaruh alkohol memberikannya keberanian untuk menanggalkan pakaiannya satu persatu— menikmati tatapan Sakusa yang tidak lepas dari dirinya sepanjang itu.

Saat Sakusa bergerak maju untuk menciumnya lagi, Atsumu menahan Sakusa, sambil berbisik di telinganya, “Ayo, baju lo juga.”

Bossy,” sindir Sakusa, membuat Atsumu tertawa. Tapi tanpa butuh waktu lama, Sakusa telah melepas hoodie dan celana jeans yang ia kenakan, memberikan Atsumu pemandangan langsung tubuh dan perut bidangnya. “Mana itu lo…?”

Mengerti maksud Sakusa, Atsumu merogoh-rogoh meja kecil di samping kasurnya untuk mengambil pengaman dan sebotol pelumas.

Sakusa mendengus selagi menerima kedua barang itu, melumasi jari-jarinya dengan lubricant. “Gue masih gak habis pikir deh, lagak lo kayak perawan tapi ngestok beginian di kamar.”

“Kurang ajar, kayak lo gak nyimpen aja,” Atsumu menendang kaki pria itu bercanda. “Itu hadiah dari si Suna btw.”

“Pantes,” Sakusa terkekeh, sambil kemudian perlahan memasukkan jarinya satu persatu ke dalam lubang Atsumu, membuat lelaki berambut pirang itu refleks mendesis.

Selagi Sakusa memaju mundurkan tangannya, perlahan rasa sakit yang dirasakan Atsumu pun mulai bercampur dengan kenikmatan. Begitu Sakusa selesai mempersiapkan Atsumu dengan jemarinya, ia pun memajukan tubuhnya ke depan, kedua sikunya bertumpu di sebelah kepala Atsumu. Ia mengunci Atsumu kembali dalam ciuman panas selagi perlahan memasukkan kejantanannya ke dalam lubang hangat Atsumu. Atsumu melepas pagutan bibir mereka untuk mengerang, berteriak nikmat saat Sakusa menghujami titik terdalam dari dirinya bertubi-tubi.

Atsumu melingkarkan kedua kakinya di pinggang Sakusa, mendorong laki-laki itu agar masuk lebih dalam lagi, dan Sakusa pun memberikan apa yang ia inginkan, menumbuk tubuhnya dengan keras hingga kasur di bawah mereka berdecit. Tak lupa, ia kunjung menggigit dan menciumi setiap inci leher dan punggung Atsumu, menandainya sesuka hati seolah lupa kalau si pirang itu bukanlah miliknya.

Saat Atsumu mengeluarkan sebuah erangan panjang, Sakusa menutup mulutnya dengan tangannya. “Diem, bego. Lo mau satu lantai denger?”

Frustasi, Atsumu menggigit telapak tangan Sakusa. Sakusa memutar bola matanya dan mereponnya dengan satu sodokan keras yang membuat Atsumu kehabisan nafas. Dasar orang aneh, batin Atsumu tidak fokus. Kalau Sakusa tidak ingin Atsumu berisik, kenapa gerakan pinggulnya sendiri semakin cepat dan kuat?

Tidak lama, Atsumu merasa sebentar lagi dirinya akan selesai. Sekujur tubuhnya menegang, satu tangannya mencengkram kain sprei dengan putus asa sementara satu laginya ia gunakan untuk mencakar punggung Sakusa—mencari tumpuan selagi akal sehatnya mulai meninggalkan dirinya. Sementara Sakusa kini mengaitkan tangannya di bawah lutut Atsumu dan menekan kaki Atsumu ke atas dadanya, membuat gerakan pinggulnya menjadi semakin dalam.

Atsumu pun mengerang kencang seakan menemukan kenikmatan duniawi, lubangnya tanpa sadar menjepit Sakusa semakin kencang selagi substansi putih menyembur keluar sebagai tanda ia sudah mencapai klimaksnya.

Tidak lama, Sakusa pun juga menemukan klimaksnya. Ia memberikan Atsumu satu hujaman keras di titik nikmatnya, sebelum menenggelamkan kepalanya di leher Atsumu untuk meredam desahannya.

Dengan nafas terengah-engah, keduanya pun terdiam masih dalam posisi menyatu sebelum akhirnya Sakusa perlahan mengeluarkan dirinya keluar dari tubuh Atsumu, lalu jatuh ambruk di sampingnya.

Tidak ada energi, Atsumu hanya bisa bergumam ke langit-langit. “That was… wow.

Sakusa mengangguk, mengiyakan Atsumu tanpa suara. Tidak lama kemudian, ia pun bangkit dari kasur. “Miya, pinjem shower lo ya.”

Atsumu melongo. “Hah anjir, lo mau mandi?”

“Gue gak bisa tidur kalo… begini,” Sakusa menunjuk bekas-bekas cairan hasil klimaks mereka yang mulai mengering di badannya. “Lo juga harusnya bersih-bersih.”

Atsumu mengibaskan tangannya asal. “Gue capek banget, tadi abis keluar juga, besok aja gue.”

Sakusa memberikannya tatapan menghakimi, tapi ia lalu melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi tanpa banyak kata lagi. Namun, di tengah jalan ia berhenti dan menoleh kepada Atsumu yang sudah setengah tertidur. “Harusnya yang kemaren itu one time-thing aja,” ujarnya pelan. “I’m not looking for any relationship.

“Ya gue juga nggak…” Atsumu, sudah di ambang kesadaran, hanya mendecak tidak peduli.

Namun, hal terakhir yang Atsumu ingat sebelum ia dikuasai rasa kantuk adalah ia tidak keberatan, jika harus melakukan semua ini lagi dengan Sakusa.

Hangat sinar matahari yang menyelinap masuk di sela-sela tirai jendela menarik Atsumu keluar dari alam mimpi. Ketika ia duduk, rasa sakit menjalar di tubuh bagian bawahnya. Tidak luput juga muncul sedikit rasa kecewa saat mendapati kasur di sebelahnya kosong.

Atsumu menghela nafas. Apa pula yang ia harapkan? Dia sendiri yang memilih agar ini terjadi.

Ia pun menyibakkan selimut dan bangkit menuju ke kamar mandi, bersiap untuk memulai hari. Berusaha melupakan ingatan tentang sentuhan hangat dan rambut keriting hitam dari malam sebelumnya.