first night

WARNING: ada slight nsfw content di bagian akhir (not explicit), minor dimohon skip aja bagian akhirnya. dosa ditanggung sendiri.


“Woy sinii!!” Tampak tangan Oikawa melambai-lambai dari kejauhan.

Setelah berjalan diantara kerumunan manusia yang mulai kehilangan kesadaran mereka, Atsumu dan yang lainnya pun sampai ke meja tempat Oikawa duduk.

“Idih udah gue bilangin jangan ngaret, gue udah disini dari lama tau!” Oikawa memutar bola matanya, sambil memperlihatkan jam tangannya yang kini menunjukkan pukul setengah 12 malam.

“Iya, iya sori bang,” Suna hanya memberikan cengiran bersalah. “Tadi mobil gue sempet ngadat dulu soalnya.”

Sebelum Oikawa sempat melanjutkan omelannya, pria berambut hitam jabrik yang duduk disebelahnya menoyor wajahnya. “Santai, tadi kita juga mepet datengnya gara-gara ini satu lama banget siap-siapnya.”

Oikawa mencibir. “Ih kamu diem aja deh.”

“Eh Iwa, apa kabar bro?” sahut Bokuto dengan semangat, meloncat maju ke depan.

“Baik, lo pada gimana?” sahut Iwaizumi sambil mengajak mereka semua yang baru datang tos satu persatu.

Iwaizumi lalu menoleh ke arah dua orang disampingnya yang daritadi tenggelam dalam obrolan mereka sendiri. “Eh kenalin ini temen-temen gue. Yang rambut abu-abu itu Semi, yang pake masker namanya Sakusa,” ujarnya. “Kalian berdua, kenalin ini temen-temennya Tooru. Yang rambut jabrik sebelah itu Kuroo, yang hyper banget itu Bokuto, yang ini Suna, dan si pirang ini Miya Atsumu.”

“Ooh gue kenal lo deh kayaknya. Lo yang kemaren manggung di pensi acara anak teknik kan?” tanya Suna kepada lelaki yang bersurai abu-abu.

“Iya, kebetulan kita sekalian celebrate juga nih si bandnya Semi baru aja dapet gig gede!” sahut Oikawa sambil berdiri dengan heboh, sebelum oleng hilang keseimbangan. “Keren gak tuh!”

Iwaizumi segera menarik Oikawa kembali ke kursinya lagi. “Tooru, duduk aja deh kamu jangan heboh sendiri.”

“Anjing kebiasaan lo Oik, udah mabok aja sih lo,” Kuroo terkekeh.

“Eh sialan belom ya ini!!“ Oikawa melengos. “Lagian siapa suruh lo dateng kesini seabad?”

By the way duduk gih, kalian udah gue pesenin tequila satu botol,” ujar Iwaizumi. “Nanti kalo mau nambah pesen sendiri lagi aja.”

Atsumu yang tadi berdiri paling ujung, sadar kini kursi yang tersisa hanya satu bangku persis di hadapan Sakusa, pria bermasker yang tadi dikenalkan oleh Iwaizumi. Dengan canggung, akhirnya ia duduk disana.

“Kalo lo anak sipil juga ya bro?” tanya Kuroo kepada Sakusa.

Sakusa mengangguk. “Iya, satu angkatan dibawah mereka berdua.”

Mereka berdua lalu mengobrol basa-basi singkat, namun tak tak lama perhatian Kuroo teralihkan oleh Iwaizumi dan Bokuto yang sibuk berdebat tentang isu-isu politik yang sedang menghangat.

Biasanya Atsumu tidak sungkan untuk ikut nimbrung, tapi mengingat posisi duduknya berada cukup jauh dari mereka, satu-satunya orang yang bisa dia ajak ngobrol saat itu adalah Sakusa, tetapi pria itu dari tadi hanya diam sambil sesekali mengecek hpnya.

Tidak tahan duduk dalam keheningan lebih lama, Atsumu tiba-tiba menyembur. “Lo lagi sakit?”

Spontan, Sakusa langsung menoleh dengan bingung. “Hah, enggak?”

“Ya abis lo pake masker,” ujar Atsumu sambil menenggak minumannya. “Siapa coba yang ke club pake masker?”

“Ya gue ini,” sahut Sakusa, mengerutkan dahinya.

“Ya kenapa tuh?” desak Atsumu.

“Gue gak suka kotor-kotor soalnya,” ujar Sakusa akhirnya sambil memutar gelas berisi vodka miliknya.

Atsumu refleks tertawa. “Lah ya terus lo ngapain kesini? Namanya club ya isinya asep rokok sama bakteri semua.”

Sakusa hanya menghela nafas. “Ya kalo boleh milih gue juga lebih prefer minum di apart aja, tapi ini kesini sekalian mau ngerayain si Semi juga.”

“Ooh gitu…” Atsumu melirik ke arah Semi, yang kini sedang asyik mengobrol dengan Suna. Kemudian ia tersadar sesuatu. “Eh Semi… dia soulmate lo?”

Sakusa mengangkat alisnya. “Bukan.”

“Ooh.. terus?”

“Terus apa?”

Atsumu mendecak. “Ah gak jadi deh.”

“Lagian lo mau nanya soulmate gue mana pake muter-muter,” Sakusa terkekeh. “Gaada. Gue belom ketemu soulmate gue.” Ia lalu menurunkan maskernya untuk menyesap minumannya, dan Atsumu terkesiap— benar kata Oikawa kemarin, he’s pretty much good-looking, dengan rahang tegas dan mata segelap obsidiannya.

“…Lo?”

Atsumu tersentak dari lamunannya, begitu sadar kalo pria di hadapannya bertanya sesuatu kepadanya. “Eh sori gak denger,” ujar Atsumu, berdoa agar lampu remang-remang club menyembunyikan semburat merah di wajahnya. “Kenapa?”

“Kalo lo gimana,” ujar Sakusa sambil menatapnya geli, tampaknya sadar alasan kenapa Atsumu melamun tadi.

Malu, Atsumu buru-buru mengangkat gelasnya untuk mencari kesibukan. “Gue juga belum ketemu.”

Setelah itu, perhatian mereka pun tersita oleh teman-teman mereka yang lain. Semakin larutnya malam, suasana pun juga berubah semakin ramai. Para mahasiswa itu pun juga sudah mulai mengawang di ambang batas kesadaran mereka.

Sepanjang malam itu pula, Atsumu tidak bisa melepaskan Sakusa dari sudut pandangnya. Mereka tidak berinteraksi banyak lagi setelah perbincangan singkat tadi, namun gerak-gerik lelaki bermasker itu tetap terlintas dalam radarnya.

Di penghujung pagi, Bokuto kini sudah naik ke atas meja dan bernyanyi dengan heboh sementara Atsumu dan Kuroo berusaha menariknya turun selagi tertawa cekikikan. Dari sudut matanya, Atsumu juga bisa melihat Oikawa duduk di atas meja sambil mengalungkan lengannya di leher Iwaizumi, bersilat lidah tanpa memedulikan sekeliling mereka. Sementara, Suna, Semi, dan Sakusa sudah menghilang entah kemana.

Tiba-tiba merasa pusing, Atsumu dengan sempoyongan merangsek ke luar bangunan club untuk mencari udara segar. Di luar, ia mendapati Sakusa sedang merokok di area parkiran.

Atsumu lalu memanggil nama Sakusa sambil berjalan ke arahnya, tetapi ditengah jalan keseimbangannya oleng dan ia nyaris tersungkur ke tanah.

Namun sebelum hidungnya dapat menyentuh aspal, Atsumu merasakan adanya dua tangan kokoh menopang tubuhnya. Saat ia menoleh ke atas, ia disambut oleh wajah tanpa masker Sakusa. Wajah mereka begitu dekat sehingga ia bisa melihat semburat kecokelatan di mata hitam Sakusa. Mereka berdua terdiam di posisi itu untuk sejenak, dan Sakusa juga tidak menarik lengannya dari tubuh Atsumu.

Tidak ada hal istimewa yang terjadi. Benang merah yang mengikat jari manisnya tidak bergerak satu senti pun. Jauh di dalam gedung, sayup-sayup terdengar suara dentuman bass, terlupakan oleh keduanya.

Mungkin karena pengaruh alkohol yang mengalir di pembuluh darahnya, mungkin karena Sakusa tampak begitu tampan di bawah sinar rembulan—mungkin karena Atsumu kesepian dan lelah melihat pasangan-pasangan yang sudah terhubung oleh benang merah dimana-mana—Atsumu menarik wajah pria itu dan menciumnya dalam keheningan malam itu.

Awalnya, Sakusa hanya terdiam kaget, namun beberapa detik kemudian ia menarik Atsumu mendekat dan balas membalas ciumannya. Sakusa terasa seperti campuran pahitnya alkohol, rokok, dan juga secercah rasa permen mint. Di sela ciuman mereka, Sakusa menurunkan wajahnya ke leher Atsumu dan memberikan isapan-isapan kecil disana, membuat Atsumu perlahan kehilangan akalnya. Tak lama Sakusa lalu memberikannya sebuah kecupan singkat lagi di bibirnya sebelum akhirnya menarik diri.

“Miya,” panggil Sakusa.

“Ya?” saut Atsumu, nafasnya terengah-engah, masih berpegangan kepada lengan Sakusa.

“Tempat lo dari sini jauh gak?”

“Hah… oh enggak sih,” ujar Atsumu tidak fokus. “Apart gue deket sini sih…”

“Gimana kalo kita kesana?”

Atsumu pun tidak berpikir panjang sebelum mengiyakan.

Ia lalu membiarkan Sakusa membawanya pulang, mengenggam tangannya melewati kegelapan malam dan membiarkan dirinya didorong ke atas kasur, menggunakan tubuh satu sama lain untuk mengejar puncak kenikmatan masing-masing selama beberapa jam ke depan.

Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Atsumu bisa melupakan ketidakhadirannya seorang soulmate dalam hidupnya.

Di malam itu, ia membiarkan tangan dan mulut Sakusa menjadi temporary fix atas semua pikiran negatif yang menghantui dirinya belakangan ini.