heart to heart talk

“Gimana ikannya, enak?”

Tendou menaikkan kepalanya dari piringnya. “Enak! Lobsternya juga enak banget.”

Ushijima tersenyum tipis. “Baguslah.”

Untuk sesaat, mereka berdua terdiam dan fokus pada makanan mereka masing-masing. Tendou mengira tripnya ke Bali ini akan sangat canggung, namun di luar dugaannya suasanya diantara mereka berdua tidak sekaku itu. “Besok rencananya kita ngapain, Pak?”

“Pagi ada workshop,” sahut Ushijima sambil menyeruput teh panasnya. “Siangnya saya ada meeting, kamu terserah mau kemana. Baru malemnya kita ketemu sama orang Seijoh.”

Tendou manggut-manggut. “Oh gitu… oke pak.”

Sebenarnya ketika Tendou pikir-pikir lagi, keberadaannya disana tidak terlalu dibutuhkan. Sampai sekarang ia tidak mengerti alasan Ushijima mengajaknya ikut ke Bali. Memang benar ia ikut meng-handle project mereka kemaren, tapi ia bukan team leader atau semacamnya.

Mungkin Ushijima hanya menginginkan company-nya…? Tidak. Tendou buru-buru mengusir pikiran itu dari benaknya sebelum hatinya mulai berkhianat.

“Gimana Bali so far?”

“Yaa enak sih, ganti suasana,” Tendou tertawa, sedikit terkejut lagi-lagi Ushijima memulai percakapan. “Besok saya main ke pantai deh siangnya biar makin kerasa aura jalan-jalannya, haha.”

Ushijima tersenyum kecil, dan lagi-lagi nafas Tendou tercekat. “Kita disini 4 hari. Lusa kamu bebas mau ngapain aja.”

By the way, saya mau nanya…” ujar Ushijima kemudian. “Kamu enjoy kerja disini?”

Tendou tertegun. Apakah ini adalah pertanyaan jebakan? Apa gajinya akan dipotong jika ia menjawab jujur kalau, tidak, menjadi pekerja kantoran bukan cita-citanya?

Mungkin seharusnya Tendou menjawab basa-basi saja, tapi ada sesuatu di dalam mata Ushijima yang membuatnya ingin membuka diri. “Kalo boleh jujur… ini bukan mimpi saya sih pak,” sahut Tendou. “Tapi saya suka kok kerja disini.”

Ushijima tampak serius mendengarkan. “Mimpi kamu apa emangnya?”

Tendou menghela nafas. “Ini mungkin terdengar konyol tapi, mau buka bakery. Dari kecil saya suka baking, Tapi orang tua gak ngizinin sekolah kuliner dan kalo buka bakery sendiri kan agak gambling ya… apalagi saya belom financially stable banget sekarang…” Tendou segera berhenti begitu sadar ia telah bicara terlalu banyak. “Eh aduh maaf saya oversharing… tapi bukan berarti saya gak suka kerja disini!”

“Gak konyol,” sanggah Ushijima. “Menurut saya gak ada mimpi yang konyol. Semuanya patut dikejar. Apalagi kamu emang jago bikin kue kan? Kue-kue yang kadang kamu bawa ke kantor selalu enak. Makasih ya udah sharing ini sama saya… semoga suatu hari bisa kejadian.”

Tendou tertegun, hatinya langsung menghangat. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyangka dapat bicara heart-to-heart talk dengan bosnya yang selama ini tampak dingin dan sangat workaholic.

“Iya… makasih pak,” jawabnya, akhirnya. “Bapak sendiri emang dari dulu suka kerja di finance?”

“Iya. Saya suka berurusan sama angka-angka dari dulu,” sahut Ushijima. “Walaupun banyak lemburnya ya.”

Tendou refleks tertawa. “Lah kan bapak sih nyuruh saya lembur terus,” candanya.

Namun tanpa ia duga, tiba-tiba wajah Ushijima bersemu merah. Pria di hadapannya itu membuka mulutnya, lalu tiba-tiba menutupnya lagi seolah bingung mau bicara apa. Mendadak Tendou juga merasa wajahnya memanas.

“Oh iya, Pak Saru,” ujar Ushijima tiba-tiba, mendadak mengganti topik. “Dia dipindah cabang kemaren,” ujar Ushijima.

Tendou menaikkan alisnya. “Oh ya? Tiba-tiba banget?”

“Iya, kinerjanya dibutuhkan di tempat lain,” sahut Ushijima. “Dan sebenarnya... udah banyak juga yang protes mengenai dia karena... ya kamu tahu lah. Jadi saya yang mengusulkan dia dipindahkan saja.”

Walaupun kaget, Tendou merasa senang mendengar kabar baik kalau ia tidak perlu berurusan dengan manajer genit itu lagi. “Oh, oke pak…”

“Ushijima aja.”

“Eh maaf?”

“Kamu panggil Ushijima aja kalo lagi diluar kantor, gausah pak, formal banget,” ujar Ushijima. “Umur kita juga gak beda jauh-jauh banget sebenarnya.”

“Loh tapi kan bapak bos saya…” Tendou meringis. “Dan ini lagi trip kantor kan itungannya?”

Ushijima menggeleng. “Anggep aja sekarang lagi liburan biasa sekarang, aku kamu aja juga gapapa.” sahutnya. Tapi kemudian air wajahnya berubah meminta maaf. “Eh tapi, senyamannya kamu aja mau gimana, terserah kamu.”

“Oke deh, Ushijima…” Tendou mencoba melafalkan nama itu di lidahnya tanpa embel-embel ‘Pak’ dan merasa pipinya memerah.

Untungnya, tak lama, topik pembicaraan keduanya berganti ke hal-hal yang lebih ringan, seperti hobi dan interest mereka masing-masing.

Tapi Tendou merasa ada yang berubah sejak saat itu.

Ushijima bagaikan enigma, sebuah puzzle yang ingin ia selesaikan. Sejak dari awal bekerja di kantornya, Ushijima telah menarik perhatiannya melalui penampilan dan etos kerjanya— walaupun Tendou harus mengorbankan waktu tidurnya begitu bekerja dengan pria itu.

Tapi kini, diluar konteks pekerjaan, Tendou merasa sangat nyaman bicara dan terbuka pada pria itu, seolah mereka adalah teman lama, hingga Tendou pun merasa tidak ingin malam ini segera berakhir. Hal yang berbahaya, mengingat Ushijima adalah atasannya. Namun ia tidak bisa melawan perasaannya— atau lebih tepatnya, tidak mau.

Karena itu pula, malam ini saja, Tendou ingin berpura-pura melupakan status mereka sebagai bos dan karyawan dan lanjut mengobrol dengan Ushijima, membiarkan hatinya jatuh lebih dalam lagi.