pertemuan pertama

Tampan. Itu hal yang pertama kali terlintas di pikiran Bakugo begitu melihat Todoroki untuk pertama kalinya.

Dengan surai setengah merah-putih, bekas luka di mata kirinya, dan sepasang mata dengan manik berbeda warna, sudah dipastikan ia akan menarik perhatian orang-orang kemana pun ia pergi. Namun, ada sesuatu di wajah datar tampannya yang menahan pandangan Bakugo terpaku pada lelaki itu.

Begitu Todoroki mendapati Bakugo berdiri terpatung beberapa langkah dari mejanya, ia segera bangkit menghampiri lelaki berambut pirang itu. “Hai. Bakugo, kan?”

“Iya,” sahut Bakugo dengan kikuk.

“Lo pesen sesuatu aja dulu,” ujar Todoroki sambil mengangguk ke arah barista di belakangnya. Sial, bahkan suaranya saja terdengar nyaman di telinga.

Tak lama, Bakugo pun kembali ke meja sambil membawa kopi susu panas dan sepiring donat kampung berbalut gula. Untuk sesaat, mereka berdua hanya terdiam dengan canggung– Todoroki sibuk memandangi ke luar jendela sementara Bakugo fokus menghabiskan makanannya.

Tidak tahan dengan keheningan lebih larut lagi, Bakugo akhirnya berdeham. “Jadi gimana?”

Todoroki tersentak dari lamunannya. “Oh iya, sori,” ujarnya, masih dengan ekspresi datar. “Gue gak tau harus ngomong apa daritadi. Lo udah selesai makan?”

Bakugo melirik ke arah piring kosongnya. “Udah.”

“Oke… jadi paling gue briefing dulu kali ya tentang situasi gue?” tawar Todoroki, tampak bingung harus bicara apa. “Gue Todoroki Shoto, anak bungsu dari empat bersaudara. Ayah gue… hubungan kita itu... complicated, gue gak tau harus gimana ngomongnya...”

“Yaudah gausah, lo gak harus cerita detail,” sanggah Bakugo. Bakugo mungkin bukanlah orang yang terkenal atas keramahannya, tapi bahkan ia pun paham kalau ada pasti hal-hal yang dianggap sensitif oleh setiap orang. Everyone has skeletons in their closet.

Todoroki tampak lega mendengarnya. “Pokoknya singkat cerita dia berharap gue akan jadi penerus perusahaan dia, makanya hidup gue selama ini lumayan dikekang sama dia. Salah satunya itu, gue mau dijodohin. Dan gue gak dalam posisi dimana gue bisa menolak dia blak-blakan, which is why gue berharap kalo besok gue bawa pacar, he will lay off a little bit.

Fine,” sahut Bakugo. “Ada hal khusus gak yang harus gue lakuin pas dinner nanti?”

Todoroki mengerutkan dahinya, tampak berpikir. “Gak sih? Ayah sama kakak gue paling nanti bakal nanya-nanya lo aja gimana kita bisa kenal dan lain-lainnya… tapi harusnya gak akan ada yang aneh-aneh, considering kita lagi di tempat umum juga.”

Bakugo bahkan tidak ingin tahu apa yang Todoroki maksud dengan aneh-aneh. Mungkin problematika orang kaya. “Yaudah. Jadi gimana cara kita ketemuan? Lewat si Deku?”

“Iya gue juga mikirnya gitu,” sahut Todoroki. “Gue mikirnya waktu itu anak-anak SMA kalian lagi ngumpul-ngumpul dan Midoriya ngajak gue, terus dia ngenalin kita disitu. Habis itu lo minta nomor gue, kita sering ngobrol, lo sering ngajak gue jalan dan akhirnya kita pun jadian. It’s simple and believable enough, right?

“Tunggu dulu,” Bakugo menyerngit. “Kenapa gue yang kesannya ngejar-ngejar lo banget?!”

Sekilas, Todoroki tampak tersipu. “Kayaknya ayah gue gak akan percaya kalau gue bilang gue yang inisiatif duluan…”

Bakugo mendengus. Dasar, sepanjang hidupnya pasti tuan muda ini lah yang selalu dikejar dan dilayani orang-orang. “Yaelah. Yaudah suka-suka lo deh.”

“Tapi pasti dia bakal kepo gimana kita jadiannya… menurut lo gimana itu?” tanya Todoroki.

“Ya gak tau anjir? Gue ngomong aja ‘gue suka sama lo, ayok pacaran?’”

Raut wajah Todoroki tampak kecewa. “Gitu doang?”

“Ya lo maunya gimana buset,” hardik Bakugo. “Lo mau gue rakitin buket bunga, hah?” Sejujurnya, Bakugo sendiri juga sangat clueless terkait perkara romance, ia saja bahkan lupa kapan terakhir kali ia pergi berkencan. Asmara tidak pernah menjadi prioritasnya selama ini.

“Yaudah deh,” Todoroki mengalah. “Kita lagi nonton TV show kesukaan kita di apart gue terus lo tiba-tiba confess out of the blue.”

“Lo kebanyakan nonton rom-com apa gimana sih, dramatis banget.” Bakugo memutar bola matanya. “Lagian emang apa anjir TV show kesukaan lo?”

Heroes Rising.

Bakugo tercengang. Itu juga serial anime favoritnya– yang baru saja menguras dompetnya akibat membeli berbagai macam merch karakter kesukaannya, All Might. “Seriusan lo?” todong Bakugo. “Siapa karakter kesukaan lo?”

Todoroki tampak terkejut dengan perubahan sikap Bakugo. “All Might…”

“Lah dia kesukaan gue juga! Gue baru beli nendo dia kemaren anjing!”

“Yang limited edition kemaren?” Tiba-tiba mata Todoroki yang dari tadi minim ekspresi tampak berbinar-binar penuh kehidupan. Sekilas, lewat di kepala Bakugo kalau Todoroki tampak sangat menggemaskan– tapi Bakugo buru-buru mengusir pikiran itu. “Kok lo bisa dapet? Itu kan cepet banget sold outnya!”

“Gue udah mantengin dari jam 7 pagi. Sialan emang, padahal malem sebelumnya gue begadang gara-gara ngerjain essay,” decih Bakugo.

“Keren lo,” kini Todoroki tampak terkagum-kagum. “Lo paling suka season berapa?”

“2.”

“Hah itu kan yang animasinya paling jelek gara-gara baru ganti studio?”

“Ya emang kenapa?!” sahut Bakugo ngegas. “Tapi pas disitu character development-nya All Might paling kelihatan–”

Selama sejam kedepan, kedua mahasiswa itu pun sibuk berdebat seputar series kesukaan mereka itu, dan perlahan percakapan pun mulai merembet ke topik-topik lain seputar kehidupan mereka. Bakugo mengomel dengan menggebu-gebu tentang dosen-dosen menyebalkan di fakultasnya, dan Todoroki juga gantian bercerita tentang pusingnya mencari topik skripsi. Bakugo juga mengungkat-ungkit masalah uang DP kemaren, dengan emosi meyakinkan Todoroki kalau kemarin ia cuma bergurau dan bayarannya menemani Todoroki nanti tidak perlu sampai berjuta-juta.

Sangat tampak baik Bakugo maupun Todoroki bukanlah tipe orang yang cepat mudah akrab dengan orang baru– tapi percakapan mereka terbilang mengalir dengan cukup lancar, hingga tidak disangka matahari mulai terbenam dan tiba saatnya untuk mereka pulang.

“Eh lo tinggal dimana, mau gue anterin pulang?” tawar Bakugo.

“Gapapa gue udah pesen gojek kok, gue tinggal di apartemen yang sebelah stasiun itu,” sahut Todoroki. “Lo dimana?”

“Kosan, di belakang Fakultas Teknik.”

“Oh yaudah. Gue duluan ya, gojek gue udah mau sampe,” Todoroki melambai sambil berjalan keluar dari cafe. Namun ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berputar. “Bakugo.”

“Ha?”

Sebuah senyuman kecil terlukis di wajah Todoroki. “Makasih sekali lagi ya udah mau bantuin gue.”

Seolah tersihir, Bakugo hanya terdiam memandangi Todoroki yang kini sudah berbalik badan dan perlahan menghilang dari pandangannya. Sialan, kenapa manusia setengah-setengah itu harus terlahir sangat good-looking sih? gerutunya dalam hati.

Tapi tidak penting apa yang Bakugo rasakan saat itu. Perjanjian mereka akan berakhir minggu depan dan setelah itu kecil kemungkinan jalan mereka akan bersilangan lagi. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

Tidak masalah, toh Bakugo melakukan ini semua karena hanya menginginkan uang bayaran dari Todoroki saja.