malam itu takdir berkata lain

Ada orang yang bilang, pikiran manusia akan melakukan segalanya untuk melindungi hati dari rasa sakit atau perasaan cemas yang berkepanjangan. Karena itu lah, setiap orang pasti memiliki defense mechanism yang akan otomatis bereaksi ketika orang tersebut sedang dipenuhi negativitas.

Bagi Atsumu, bentuk pertahanan itu adalah pushing people away. Ada bagian dari dirinya yang menyalahkan diri sendiri karena memperbolehkan semua ini terjadi. Sakusa memang brengsek telah menyakiti perasaannya, namun semua ini tidak luput juga terjadi karena kebodohannya. Sudah cukup ia benci pada dirinya sendiri, ia tidak ingin melibatkan orang-orang lain dalam masalahnya. Lagipula, if you are alone, no one can hurt you. A bit of a fucked up logic, but it’s not like you can think straight when you’re heartbroken.

Perjalanan menuju restoran tempat orang tua Miya menunggu dihabiskan dalam keheningan. Atsumu duduk di kursi belakang, sementara Suna menyetir dan Osamu duduk di sebelahnya.

Sebelumnya, siapapun teman bicaranya, biasanya Atsumu adalah orang yang mendominasi percakapan, membawa orang-orang ikut ke dalam arusnya. Tapi kini ketika ia diam saja, Atsumu baru menyadari betapa canggungnya Suna dan Osamu jika ia tidak hadir sebagai penengah. Mereka hanya mengobrol seperlunya dan bahkan Atsumu ikut merasa awkward menonton interaksi mereka dari belakang. Bukannya soulmate harusnya sangat comfortable around each other? batinnya pahit.

Tak lama, mobil mereka sampai ke restoran di pusat kota Jakarta dan mereka pun berjalan menemui orang tua Atsumu. Mereka semua bergantian memberikan selamat ulang tahun dan kado kepada ibu Atsumu, sebelum lalu duduk di kursi masing-masing.

“Suna apa kabar…?” Bunda Miya mulai berbasa-basi. “Kamu sekarang kegiatannya ngapain aja?”

“Yaa kuliah biasa aja Tante…” sahut Suna. “Sama magang paling.”

Percakapan ringan pun terus berlanjut, hingga akhirnya pertanyaan seribu dolar pun keluar. “Gimana hubungan nak Osamu sama Suna sekarang?”

“Temen aja bund,” jawab Osamu sambil menghela nafas, tampak lelah dengan pertanyaan itu. Sementara Suna terlihat salah tingkah.

“Ooh karena harus LDR ya sekarang… apa kalian mau langsung nikah aja nih lulus kuliah? Biar cepet,” ujar Bunda Miya, tertawa setengah bercanda.

Tapi reaksi Osamu dan Suna tidak menganggap itu candaan. Keduanya hanya terdiam dan fokus pada makanan mereka, tampak tidak nyaman. Atsumu mendengus. Dasar pasangan aneh.

“Eh kok kamu tumben diem aja,” tegur Ayah Miya kepada Atsumu.

“Eh gapapa, lagi mikirin tugas,” kilah Atsumu.

“Atau mikirin soulmate jangan-jangan?” sahut Bunda Miya. “Mana nih Atsumu kok gak ketemu-temu sama soulmate nya… cepetan dong biar nyusul kembaran kamu.”

Atsumu tersentak. Ia teringat perkataan Sakusa dahulu kala— lo bukan soulmate atau siapa-siapa gue, kita cuma fwb, kenapa lo marah? Dan mendadak ia pun naik darah lagi. Fuck soulmate. Kelaut saja konsep soulmate ini.

Kenapa juga ia tak kunjung bertemu soulmate-nya? Kalau saja ia sudah bertemu dari dulu, ia tidak akan perlu berurusan dengan Sakusa dari awal.

Mirisnya, ada pula suara kecil berbisik dalam dirinya, kalau tidak ada ‘soulmate’ di dunia ini, mungkin lo sama Sakusa punya kesempatan.

“Gak ada,” jawabnya tajam. “Gak butuh juga.”

“Atsumu,” Ayah Miya langsung menegurnya.

Atsumu semakin menaikkan suaranya. “Aku gak peduli mau gak akan ketemu sama soulmate apa gimana.”

“Atsumu! Kok gitu sih ngomongnya,” desis Bunda Miya.

“Lagian kenapa sih Bunda sama Ayah ribet banget soal urusan ini? Hidup kan hidup aku! Mau aku hidup sendiri kek atau apa ya terserah aku!”

“Atsumu, duduk!” bentak ayahnya.

Suasana hening. Tatapan keempat orang di meja itu tertuju pada Atsumu. Tanpa sadar, Atsumu bangkit dari kursinya karena terbawa emosi. Ia pun menarik nafas dengan gemetar. sebelum mengalihkan pandangannya ke tanah. “Aku… keluar dulu ya sebentar.”

Tanpa memedulikan protes ayah ibunya, Atsumu segera berjalan keluar dari restoran, masih dengan jantung berdebar-debar.

Ia tahu, amarahnya salah sasaran. Mendadak ia merasa kekanak-kanakan karena melampiaskan emosinya pada orang tuanya tanpa pikir panjang. Di ulang tahun ibunya pula. Emang gue anak gak tahu diri ya...

Masih dalam pikiran kalut, tanpa sadar Atsumu tersandung kerikil ketika ia sampai di area parkiran mobil. Ia berhasil menyeimbangkan dirinya, namun hpnya terlempar cukup jauh ke depan. Sambil mendecak kesal ia berusaha mengambil lagi benda itu. Namun sebelum ia sempat meraih hpnya, ada sebuah tangan kecil mengulurkan hpnya kepadanya.

Atsumu mendongak, dan mendapati dirinya berhadapan dengan seorang laki-laki seumurannya—atau malah tampak lebih muda—dengan rambut jingga megar.

“Ini kak, hati-hati ya!” ujarnya dengan riang. Bahkan di kegelapan malam pun, anak itu seolah menebarkan energi positif.

Saat Atsumu mengambil hpnya dari tangan lelaki itu, kedua tangan mereka bersentuhan— dan tiba-tiba keajaiban terjadi. Red string of fate, benang merah yang terlilit di kelingking kanannya bergerak sendiri. Atsumu mendadak juga dapat melihat benang merah di jari lelaki itu, dan ia tertegun menyaksikan kedua benang mereka saling mendekati dan menyambung pada satu sama lain.

Kini benang merah mereka berdua terhubung dengan utuh. Ketika ia menoleh ke atas, lelaki pendek dihadapannya itu juga memasang ekspresi yang sama dengan dirinya. Kaget. Melongo.

“Ehm…” ujar lelaki berambut jingga itu canggung. “Hai…?”

“Hai…” sahut Atsumu, masih kehilangan kata-kata.

“Jadi kita…?”

“Iya…”

Setelah mereka saling diam untuk sesaat, memproses keadaan, laki-laki itu angkat bicara lagi. “Nama aku Hinata!”

“Eh… eh hai,” ujar Atsumu. “Gue Atsumu.”

Soulmate-nya, Hinata, tampak membuka mulutnya untuk berkata lebih banyak lagi, tapi tiba-tiba hp miliknya berdering dan begitu melihat notifikasi di layarnya, wajahnya memucat.

“Ngg… kak aku harus pergi sekarang, lagi ditungguin…” ujarnya dengan agak panik. “Tapi kita…”

“Eh yaudah gapapa,” sahut Atsumu buru-buru. Hinata dengan kikuk langsung melambaikan tangannya dan hendak pergi.

Lucu sekali. Baru saja ia tadi marah-marah di depan orangtuanya karena perkara soulmate, dan kini seakan tiba-tiba langit menurunkan pasangan hidupnya di depan wajahnya. Di parkiran restoran pula. Ketika baru saja tadi ia mengatakan kalau ia tidak butuh seorang soulmate.

Dan pikiran itu pun terlintas di kepalanya. Butuhkah ia? Seorang soulmate?

Persetan lah. Sebelum Hinata di depannya menghilang, Atsumu memanggil namanya sekali lagi. Saat si rambut orange itu menoleh, Atsumu berlari kecil ke arahnya sambil menyodorkan hpnya.

“Sebelum lo pergi, boleh minta nomor hp lo?”