Saya minta maaf
“Ih jadi beneran!!” Tsutomu berteriak kegirangan begitu Tendou mengeluarkan sepiring besar pudding vanilla, lengkap dengan foamy whipped cream dan taburan potongan wafer di atas permukaannya.
“Jadi dong, masa enggak,” ujar Tendou sambil mengedipkan sebelah matanya. “Nih karena kalian tadi bikin tiga resep, yang satunya kalian makan aja sekarang!”
Tsutomu, Tobio, dan Hinata berteriak kegirangan. Saat itu mereka sedang berada di dapur Bakery Chocotori. Sesuai janji Tendou, ia sedari tadi membantu tiga anak itu (Hinata sebenarnya beda kelas, ia hanya ikut meramaikan saja) untuk membuat dessert berupa pudding. Sebenarnya, ketiga anak itu hanya bertugas menimbang dan mengaduk sebentar bahan-bahannya saja, sisanya Tendou yang melakukan semuanya selagi mereka menonton dengan takjub.
“IH ENAK RASANYAA!!” ujar Hinata histeris, sambil menyuapkan sepotong kepada Tobio. “Tomu sini cobain juga!”
“Ih suap-suapan kayak orang udah nikah aja,” cibir Tsutomu sambil mengambil sendok sendiri.
Tendou tertawa geli melihat tingkah heboh ketiga anak itu. Harusnya hari ini bukan jadwal dia berjaga di bakery—sekarang Shirabu yang sedang menjaga kasir—tapi ia dengan senang hati meminjamkan dapurnya ke anak-anak itu. Hal itu juga mengalihkan pikirannya dari kekalutan yang dialaminya selama seminggu terakhir akibat kesalahpahamannya dengan ayah Tsutomu.
Namun, tentu saja hidup tidak semudah itu.
Tiba-tiba Shirabu memunculkan kepalanya dari balik pintu dapur, wajahnya terlihat ragu-ragu. “Kak, ada yang nyari kakak.”
Tendou menaikkan alisnya. “Pelanggan?”
“Ngg… not exactly pelanggan sih,” Shirabu meringis. “Apa aku suruh masuk kesini aja? Anaknya ada di dalem sini…”
Anaknya ada di dalem sini…
“HAH?? Dia dateng kesini?” Begitu Shirabu mengangguk, Tendou langsung mendesis, “Bubu, gue belom siap anjir… suruh pulang aja dong.”
“Hah, kakak gila?” Shirabu memutar bola matanya. “Lagian katanya kakak mau clear things out sama dia? Aku tau kakak belom berani ngomong sama dia kan dari kemaren-kemaren, nah ini pas banget tuh orangnya dateng.”
Tendou. menggeleng dengan panik. “Ya tapi ini terlalu tiba-tiba! Mana ada anaknya pula?!”
“Kak ini demi kebaikan kakak,” Shirabu menarik paksa Tendou keluar dari dapur. “Cepet temuin dia, mumpung itu anak-anak juga lagi sibuk makan.”
Tendou memelototi pegawai sekaligus teman lamanya itu, tapi sebelum ia sempat protes lebih lanjut, di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mata sehijau helai-helai daun pohon di depan tokonya.
Terdengar suara bariton pria itu, “Hai, Tendou.”
“Halo… Wakatoshi,” Tendou menjawab, sembari berusaha menenangkan debaran jantungnya.
“Saya mau minta maaf.”
“Karena…?”
“Seharusnya dari awal saya lebih terbuka tentang kehidupan pribadi saya,” ujar Ushijima. Wajahnya datar, tapi terdengar sebersit urgensi dalam nada suaranya. “Andai saja saya begitu, kesalahpahaman ini bisa terhindari. Saya minta maaf.”
Tendou menghela nafas. “Aku yang seharusnya minta maaf,” ujarnya, berusaha mengumpulkan keberanian. “I mean, it would have been nice knowing you have a kid, tapi aku juga sembarangan berasumsi kemaren. Pas kamu dateng kesini terakhir, kukira itu kamu ditelfon sama… pasangan kamu.”
“Oh,” Ushijima terdiam. “Ibunya Tsutomu—anak saya—sudah gak ada sejak lama. Itu yang saya telfon waktu itu anak saya.”
Tendou meringis. “Iya aku udah dikasih tau sama Tsutomu... makanya aku minta maaf juga abis itu ngusir kamu.”
“Gapapa,” sahut Ushijima, sebelum tersadar akan sesuatu. “Eh, maksudnya kamu dikasih tau Tsutomu apa—”
Kalimat Ushijima dipotong oleh derapan langkah kaki kecil yang diiringi suara cempreng. “Om Tendou!! Puddingnya udah kita abisin soalnya enak banget… LOH PAPA?!”
“Tomu?” Ushijima tertegun. “Kamu ngapain disini… kok kamu dari belakang sana? Katanya kamu lagi kerja kelompok di rumah Tobio?”
Tsutomu langsung meringis merasa bersalah. “Kerja kelompoknya disini maksudnya…”
Tendou sendiri langsung menoleh dengan panik ke anak itu. “Lah kamu belom izin ke papa kamu? Kan Om bilang kemaren kamu harus izin dulu...”
“Habis Papa lagi sedih banget dari kemaren-kemaren… jadinya aku gak mau ngerepotin papa soal tugas masak ini… eh terus Om Tendou nawarin mau bantuin pas aku cerita, yaudah aku kesini sekalian bikin ini pudding ini,” dengan takut-takut, Tsutomu kemudian mengulurkan satu loyang vanilla pudding yang ia masak. “Ini puddingnya sengaja aku mau bikin 3 loyang soalnya biar satu lagi surprise buat Papa… Siapa tau bisa ngehibur Papa…”
Ushijima lalu berlutut dan memeluk anak semata wayangnya itu. “Makasih ya Tomu,” ujarnya. “Kamu baik banget. Tapi ini gak membenarkan kamu buat bohong sama Papa, ya? Kamu juga jadi ngerepotin Om Tendou kan, ini.”
“Eh engga kok! Santai aja,” Tendou buru-buru menyahut. “Emang aku yang nawarin kok!”
“Maaf ya Papa,” ujar Tsutomu dengan suara pelan, sambil memeluk ayahnya semakin kencang.
“Iya gapapa.” Setelah melepas pelukannya, Ushijima melirik ke arah Tendou dan Tsutomu secara bergantian dengan bingung. “Ngomong-ngomong, sebenarnya awal kalian kenalnya gimana sih? Tomu katanya dulu pernah kesini sama Tobio?”
Tsutomu mendadak langsung memucat, teringat kesalahpahaman saat kedatangan pertamanya di bakery ini. Tapi perlahan, dia mulai mengakui semuanya dari awal— dari masalah pelet hingga roh jahat.
Ushijima benar-benar tertegun mendengar pengakuan anaknya, bahkan cukup marah, namun ia berusaha tidak menunjukkannya mengingat mereka sedang berada di tempat umum.
Namun, ia tetap menegur Tomu karena telah sembarang menuduh orang lewat text, bukannya mengonfirmasi kebenarannya dulu pada sang ayah. “Kamu jangan sembarangan chat orang kayak gitu lagi ya, apalagi sampai dateng kesini kayak kemaren. Itu gak sopan, papa gak pernah ngajarin kamu begitu. Untung Om Tendou baik, udah maafin kamu.”
“Iya, pa maaf,” ujar Tsutomu dengan mata berkaca-kaca. “Tomu gak akan gitu lagi…”
“Iya. Jangan bohong lagi tapi ya sama Papa.”
Tendou memperhatikan pasangan ayah-anak itu sambil tersenyum. Ia sendiri sudah lama tidak memusingkan kejadian pelet itu, tapi ia mengerti pastinya orang tua yang mengetahui anaknya bohong akan kelabakan juga.
“Tapi aku tahu kok sekarang, ternyata Papa kesini terus bukan karena dipelet!” ujar Tsutomu, setelah air matanya mulai reda. “Tapi karena Papa suka kan sama Om Tendou?”
Jdeg. Tendou langsung membatu di tempatnya berdiri, semburat merah menghiasi wajahnya. Begitu pula Ushijima, ia hanya mematung kehilangan kata-kata.
“Gapapa, pa kalo papa mau suka! Om Tendou orangnya baik banget!”
Aduh anak kecil ini memang ya…
Tanpa sepengetahuan dua orang yang sedang dibalut asmara itu, Shirabu bersama dengan Hinata dan Kageyama menonton geli dari balik pintu dapur semua drama yang sedang terjadi di bakery itu.