tawaran pulang
Sudah hampir setengah jam Tendou berdiri di lobby kantornya sambil terus berusaha memuat ulang aplikasi ojek onlinenya. Saat itu jam dinding telah menunjukkan pukul 9 malam, tapi tidak kunjung pula ada yang menerima pesanannya.
Tak lama, ia melihat ada sesosok pria paruh baya keluar dari lift di belakangnya. Begitu menyadari siapa orang tersebut, Tendou refleks mengumpat dalam hati dan berdoa agar pria itu tidak menyadari keberadaannya.
Namun sia-sia, tiba-tiba ada sebuah tangan gempal mencengkram bahunya. “Loh, Tendou kan? Kok kamu kok masih disini?”
“Malam, Pak,” Tendou tersenyum canggung. “Iya nih, abis lembur…”
Pria itu, Pak Saru, adalah salah satu general manager di kantor Tendou. Sedari awal Tendou diterima di perusahaan ini, ia kerap mendengar kabar tidak mengenakkan mengenai Pak Saru yang suka menggoda anak-anak baru, baik laki-laki maupun perempuan. Dan benar saja, Tendou pun tidak luput pernah menjadi sasarannya dulu. Sering kali pria itu menyentuhnya secara tidak sopan saat berpapasan, sembari membisikkan ucapan-ucapan flirty yang membuat Tendou merasa sangat tidak nyaman. Namun, akibat tidak adanya bukti fisik dan pengaruh penting manajer itu di perusahaan, Tendou tidak bisa melakukan banyak hal untuk melawan.
“Saya juga baru kelar nih,” Pak Saru memberikannya cengiran puas. Tangannya belum juga berpindah dari bahu Tendou meskipun Tendou sudah berulang kali bergerak mundur. “Gimana kalo kamu pulang bareng saya aja? Udah lama juga kan nih kita gak ngobrol-ngobrol?”
Kepanikan mulai menjalar di dalam diri Tendou, berulang kali ia melirik ke aplikasi ojek online di hpnya yang belum juga membuahkan hasil. “Gak usah, makasih Pak… saya dijemput kok,” kilahnya.
“Ooh, sama pacar kamu?”
“Sama temen,” bohong Tendou lagi, kini jantungnya berdegup semakin cepat. “Kebetulan katanya dia ada di gerbang depan! Saya kesana duluan deh pak, permisi…”
Tapi begitu Tendou bergerak menjauh, tangan sang manajer yang tadi bersanggah di bahunya kini turun menahan pergelangan tangannya, menariknya mendekat. Refleks akibat panik, Tendou menampis tangan pria itu sambil bergerak mundur.
Sesaat, nampak kilatan berbahaya di mata Pak Saru. Pria itu mengulurkan tangannya lagi, seolah ingin menyentuh Tendou lagi. “Kamu kenapa sih, kok kagetan banget? Saya kan cuma nawarin nganterin kamu pulang aja, udah malem begini. Terus siapa tau nanti kita bisa mampir dimana gitu—”
Namun monolog Pak Saru tiba-tiba dipotong oleh dehaman suara bariton dari belakang mereka. Saat Tendou melirik ke balik punggung Pak Saru, tampak presiden direktur perusahaan mereka, Ushijima, sedang berjalan ke arah mereka berdua sambil menenteng briefcase hitam miliknya. Spontan, Pak Saru segera menarik tangannya dari lengan Tendou.
“Maaf, Pak Saru,” sapanya. Mungkin hanya perasaan Tendou saja, tapi Tendou merasa nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Sebenernya saya masih ada kerjaan yang harus diselesaiin sama Tendou. Bapak pulang duluan aja.”
Tendou tercengang. Ini sudah jam 9 lebih… kerjaan apa lagi?? Tapi disampingnya, Pak Saru kemudian segera mundur menjauh dari dirinya dan Ushijima. “Baik kalo gitu, saya pulang duluan ya,” pamitnya sambil mengangguk segan kepada Ushijima. “Malam, Pak.”
Ushijima hanya mengangguk singkat, memicingkan matanya selagi memastikan manajer itu sudah hilang dari pandangan. Kemudian, ia menoleh ke arah Tendou yang masih memandanginya dengan ragu.
Di satu sisi, Tendou lega karena Ushijima secara tidak langsung mengusir Pak Saru. Tapi di satu sisi lainnya, Tendou sudah bekerja 9-to-9 hari ini dan ia tidak percaya Ushijima akan menyuruhnya duduk di depan laptop lagi, dasar tidak punya hati—
“Kamu pulang naik apa?”
Hah? Ucapan Ushijima membuyarkan lamunan Tendou. “Eh… kereta sih, Pak. Ini lagi nunggu gojek…”
“Jam segini susah nyari gojek, dan kereta cuma ada sampe jam 10 kan?” ujar Ushijima, masih dengan wajah datarnya. “Kira-kira kamu keberatan… kalau saya antar pulang?”
Lagi-lagi yang lewat di pikiran Tendou hanya, hah?
“Ini kan salah saya juga kamu jadi lembur sampai jam segini,” ujar Ushijima kemudian. “Tapi kalo kamu gak nyaman yaudah gak apa-apa. Saya bisa pesankan taksi atau telfon supir saya di rumah buat kesini untuk lalu antar kamu pulang. Terserah kamu maunya gimana.”
“Eh… bentar, pak,” sahut Tendou kebingungan. “Bukannya tadi Bapak bilang kita masih ada kerjaan?”
Kini gantian wajah Ushijima yang tampak ragu… dan sedikit malu. “Itu gak beneran,” ujarnya. “Maaf tadi saya lihat kamu kurang nyaman gitu… jadi saya… ya begitu.”
Selama Tendou mengenal atasannya itu, Ushijima adalah seorang pria yang selalu menguarkan aura dominan dan percaya diri. Tipe orang yang bisa effortlessly membuat orang lain menaruh kepercayaan pada dirinya tanpa pikir panjang. Baru kali ini Tendou melihatnya tampak tidak yakin dengan dirinya sendiri dan entah kenapa, pemandangan itu membuat hati Tendou merasa hangat.
“Iya… makasih, Pak,” ujarnya, sedikit salah tingkah.
Selama semenit kemudian, mereka diliputi oleh keheningan yang kikuk, sampai akhirnya Ushijima berdeham lagi. “Jadi… gimana?”
Tendou melirik ponselnya yang belum kunjung memberikannya kabar baik dan akhirnya memutuskan untuk mengalah pada takdir. “Ya… boleh pak, kalau gak ngerepotin.”
Karena itu lah, Tendou mendapati dirinya di dalam mobil Ushijima malam hari itu. Sepanjang jalan, mereka berdua lebih banyak diam, hanya sesekali diisi dengan Tendou menunjukkan arah atau Ushijima menanyakan kegiatan sehari-hari Tendou selain di kantor. Ushijima tidak membawa-bawa kejadian dengan Pak Saru barusan, tapi menilai dari ekspresinya tadi, ia tampak gusar dengan perilaku rekan kerjanya itu.
Tetapi dalam keheningan itu pun, Tendou merasa aman dengan keberadaan pria disampingnya itu— sebuah kontras dari yang ia rasakan saat di lobby tadi. Keberadaan Ushijima seakan berperan sebagai jangkar yang menenangkan berbagai kegelisahannya. Malam itu, Tendou seakan melihat sisi baru dari atasannya itu.
Mungkin ternyata masih banyak hal yang belum Tendou ketahui tentang Ushijima Wakatoshi.