usai, malam hari itu

cw // nsfw, explicit scene, hate sex

Note: (disarankan sambil dengerin The Hills – The Weeknd atau Love on the Brain – Rihanna). dan btw ini aku nulisnya rada buru2 jadi maaf ya kalo ga sesuai ekspektasi :”)


Jika saja Atsumu mengikuti akal sehat rasionalnya, seharusnya ia tidak akan membuka pintu kamarnya.

Jika saja ia tidak dibutakan oleh cinta, atau emosi apapun itu yang mengalir dalam nadinya, ia akan menyuruh Sakusa untuk pulang dan bicara lagi kepada pria itu saat kepalanya sudah kembali dingin. Osamu selalu mengatakan kalau ia kerap mencari-cari penyakit sendiri. Atsumu tidak pernah setuju dengannya, namun malam itu tuduhan kembarannya itu terbukti benar.

Dengan emosi masih memuncak, ia membuka pintu kamarnya dan kemudian berhadapan dengan tak lain Sakusa Kiyoomi— sumber dari banyak masalah hidupnya saat ini. Meski wajah Sakusa tertutup masker, Atsumu tetap bisa mendeteksi kekesalan dan frustasi yang terpancar di wajahnya.

“Lo suka sama gue?”

Itu hal pertama yang keluar dari mulut Sakusa, dan itu langsung membuat Atsumu naik darah seketika. “Ngapain sih lo kesini?” desisnya.

Sakusa menutup pintu dibelakangnya, matanya memicing dengan tajam. “Padahal lo yang awalnya ngusulin kita jadi fwb,” tuduhnya, suaranya hanya sekeras bisikan, tapi tajam menghujam. “Kenapa bisa?”

Kenapa…?! Ingin rasanya Atsumu menjambak rambutnya sendiri frustasi. Bisa-bisanya Sakusa bertanya kenapa, saat dia yang selama ini menarik ulur Atsumu. Berlagak seolah ia peduli dengan segala perhatian dan sentuhannya, menanamkan benih-benih harapan di dalam hati Atsumu dan sekarang menginjaknya begitu saja.

Ketika Atsumu tak kunjung menjawab, Sakusa menghela nafas sambil mencopot maskernya. Untuk sesaat, matanya tampak sedih. “Gue kan bukan soulmate lo.”

“Ya terus kenapa?!” Kini Atsumu menaikkan suaranya. “Lagian kalo bisa juga gue gak mau suka sama lo anjing, orang gak tau diri dan brengsek kayak lo–”

Sakusa mentapnya tajam. “Iya emang gue akuin gue salah gak ngabarin lo kalau ternyata gue gak bisa nemuin lo tadi siang, dan gue minta maaf.”

“Ya dimaafin, pergi lo sekarang.”

“Tapi tetep aja itu gak menutup fakta kan kan?” Sakusa mengabaikan perkataannya tadi. “Kalo gue bener, kalo kita tuh bukan apa-apa.”

Atsumu terdiam, kehabisan kata-kata, sebelum amarah menguasainya lagi. Ia berjalan mendekat. “Lo tuh emang brengsek ya…”

Sakusa tersenyum kecut, mendekatkan wajahnya pada Atsumu juga. “Brengsek tapi lo suka juga.”

“Lucu lo,” Atsumu memelototi pria itu. “Enak ya, selama ini mainin gue?”

“Mainin? Lo yang ngusulin kita jadi fwb in the first place. Lo yang willingly put yourself in this position.”

“Apa sih mau lo sebenernya dari gue?” bentak Atsumu.

“Apa yang lo mau dari gue?”

Atsumu seakan kehilangan akal sehatnya, hanya ditutupi amarah dan tanpa pikir panjang lagi, ia menarik kerah kemeja Sakusa dan menyatukan bibir mereka. Dibandingkan ciuman, rasanya bibir mereka lebih pantas disebut saling menyerang satu sama lain. Atsumu menggigit bibir Sakusa dengan keras hingga ia bisa merasakan darah, seolah ingin menyalurkan semua emosi yang ia rasakan.

Sakusa mendesis kesakitan sebelum mendorong Atsumu ke atas kasur dan mengunci kedua pergelangan tangan Atsumu di atas kepalanya. Untuk sesaat, keduanya saling menatap penuh benci, sebelum Sakusa kembali mencium Atsumu lagi sampai keduanya kehabisan nafas.

Tak lama, Sakusa menarik dirinya. “Buka baju lo,” ujarnya, terdengar seperti perintah. Sakusa biasanya tidak pernah banyak bicara di ranjang, sehingga keagresifannya membuat Atsumu tertegun. “Tadi gue tanya mau lo apa, dan lo malah nyium gue. Jadi kalo lo ini cuma mau tidur sama gue, yaudah cepetan, gue ladenin.”

Di tengah pikiran kalutnya, Atsumu lantas menanggalkan pakaiannya dan menarik Sakusa mendekat dengan kasar, membantu mengeluarkannya dari pakaiannya pula. Sekilas, ia bisa melihat bekas-bekas memar yang ia tinggalkan di tubuh Sakusa beberapa hari sebelumnya. Namun pikiran pengkhianatnya juga berbisik, bagaimana kalau tanda itu bukan dari lo doang? Gimana kalau itu dari perempuan tadi?

Mendadak, Atsumu dilanda gelombang amarah baru dan ia menyambar botol lubricant dari meja samping tempat tidurnya dan mulai membasahi jari-jarinya dengan itu. Tapi saat ia melihat Sakusa bergerak ingin membantunya, ia menahan dada laki-laki itu dengan kakinya. “Diem lo.”

Sakusa menggeser kaki Atsumu dengan kesal, tapi ia duduk manis diam menonton Atsumu mempersiapkan diri sendiri dengan jari-jarinya. Begitu selesai, dengan nafas terengah-engah Atsumu melempar kotak kondom kepada Sakusa. Sakusa memutar bola matanya, memakaikan pengaman selagi Atsumu bergerak mendekat dan naik ke atasnya, menurunkan dirinya pada kejantanan Sakusa.

Ia mendesis begitu merasakan lubangnya mulai meregang akibat ukuran Sakusa, namun desahannya kembali tertelan begitu Sakusa kembali menguncinya dalam ciuman panas. Atsumu mencakar punggung Sakusa selagi pinggulnya bergerak naik turun, mewarnainya dengan garis-garis merah, melampiaskan emosi dan sakit hati yang ia rasakan pada setiap garisnya.

“Coba aja lo bisa liat muka lo sekarang,” ujar Sakusa tiba-tiba, menarik wajahnya dari leher Atsumu. “Dari tadi ngatain gue brengsek, tapi sekarang liat lo, malah keenakan gitu.”

Atsumu memelototinya dengan tajam. “Itu dua hal yang berbeda,” ujarnya, sebelum mengerang lagi karena Sakusa menaikkan pinggulnya, menumbuk titik nikmat di dalam Atsumu. “Lo tetep brengsek.”

Sakusa lalu tiba-tiba mengeluarkan dirinya dari tubuh Atsumu sebelum ia mengangguk ke arah kasur. “Sana balik badan.”

Atsumu ingin protes, tapi ia tidak bisa berpikir jernih akibat kekosongan yang tiba-tiba ia rasakan di tubuh bagian bawahnya. Seolah bagaikan autopilot, ia membalik badannya, bertumpu pada siku dan lututnya. Tak lama, ia merasa Sakusa kembali memasuki dirinya, kali ini dengan intensitas dan kekuatan yang keras, mematikan semua protes Atsumu dan meninggalkannya hanya dengan desahan-desahan nikmat. Gerakan Sakusa, masih dibumbui sisa-sisa amarah, juga jauh lebih kasar dan keras dari biasanya.

Tak lama, mereka berdua pun mencapai puncak klimaks masing-masing. Atsumu keluar lebih dahulu, lalu disusul Sakusa dengan gigitan keras di pundak Atsumu.

Masih dengan nafas terengah-engah, Atsumu menoleh dengan lemas ke arahnya. Orgasme membuat pikirannya lebih tenang dan emosinya sedikit teredam, sehingga ia berniat menawarkan permintaan maaf kepada Sakusa atas ledakan amarahnya tadi, tapi Sakusa mendahuluinya memecah keheningan.

“Lo gak suka sama gue, Tsum.”

Atsumu tertegun. “Hah?”

“Lo aja enggak kenal sama gue,” ujar Sakusa, pandangannya terpaku pada luar jendela, dimana langit sudah mulai gelap. “Kita ketemu paling seminggu sekali dua kali, tidur bareng, terus udah. You only like the idea of me.

Hati Atsumu seakan tertohok. “Ya makanya lo bolehin gue kenal sama lo lebih dalem dong... fuck soulmate,” ujar Atsumu, dan terkejut saat mendapati ia sungguh-sungguh dalam perkataannya. Semenjak bertemu Sakusa, tidak pernah sekali pun pikiran tentang soulmatenya melintas di kepalanya. “Apa salahnya sih nyoba?”

“Masalahnya adalah...” ujar Sakusa. “Gue gak suka sama lo. Gak pernah sekali pun ada rasa.”

Untuk sedetik, Atsumu bisa melihat kesedihan di mata Sakusa, sebelum tergantikan oleh ekspresi datarnya lagi. “Dari awal, I’m just only in it for the sex. That’s it. Arrangement ini bertahan selama ini ya because the sex was good. Nothing more.”

Atsumu terdiam. “Ini lo beneran?”

“Iya.”

Refleks, Atsumu tertawa miris. “Temen-temen gue udah ngingetin sebelomnya, buat narik diri kalo misalnya gue merasa udah masukin zona bahaya,” ujarnya. “Tapi gue bego, gue malah gak cerita-cerita ke mereka dan dengan naifnya berharap kalo…” Atsumu mendadak tidak bisa melanjutkan kalimatnya. “Kalo…” Kalo kita ada harapan.

“Ya that’s on you,” ujar Sakusa, masih tidak mau menatap wajah Atsumu. Gak ada yang nyuruh lo naro harapan.

Atsumu menghela nafas dengan gemetar. Harusnya ia tidak mendengarkan saran Osamu, harusnya ia tidak pernah mengajak Sakusa bertemu di luar urusan kasur… jika begitu mungkin hubungan mereka tidak—belum—akan rusak seperti ini.

“Yaudah keluar sana lo,” ujar Atsumu, seolah kehilangan seluruh energinya.

“Kita udahin aja semua ini. Kalo ada apa-apa soal bendahara Olim Haikyuu lo hubungin gue aja lewat DM Twitter. Sisanya udah, gak usah ngomong sama gue lagi.”

Sakusa terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oke.”

Dalam keheningan, Sakusa mengenakan kembali pakaiannya dan menuju ke pintu kamar Atsumu. Sebelum ia membuka gagang pintu, ia berhenti dan berucap pelan, “Maaf ya... Atsumu.”

Dengan itu pun ia pergi, masih membawa serpihan hati Atsumu dalam genggamannya. Saat ia tinggal sendiri, Atsumu pun akhirnya memperbolehkan air matanya untuk mengalir keluar setelah sekian lama.

Hatinya terus mempertanyakan, Sakusa bukan lah soulmate yang ditakdirkan untuknya, tapi kenapa semua ini terasa sangat sakit?