omigireey

Tampan. Itu hal yang pertama kali terlintas di pikiran Bakugo begitu melihat Todoroki untuk pertama kalinya.

Dengan surai setengah merah-putih, bekas luka di mata kirinya, dan sepasang mata dengan manik berbeda warna, sudah dipastikan ia akan menarik perhatian orang-orang kemana pun ia pergi. Namun, ada sesuatu di wajah datar tampannya yang menahan pandangan Bakugo terpaku pada lelaki itu.

Begitu Todoroki mendapati Bakugo berdiri terpatung beberapa langkah dari mejanya, ia segera bangkit menghampiri lelaki berambut pirang itu. “Hai. Bakugo, kan?”

“Iya,” sahut Bakugo dengan kikuk.

“Lo pesen sesuatu aja dulu,” ujar Todoroki sambil mengangguk ke arah barista di belakangnya. Sial, bahkan suaranya saja terdengar nyaman di telinga.

Tak lama, Bakugo pun kembali ke meja sambil membawa kopi susu panas dan sepiring donat kampung berbalut gula. Untuk sesaat, mereka berdua hanya terdiam dengan canggung– Todoroki sibuk memandangi ke luar jendela sementara Bakugo fokus menghabiskan makanannya.

Tidak tahan dengan keheningan lebih larut lagi, Bakugo akhirnya berdeham. “Jadi gimana?”

Todoroki tersentak dari lamunannya. “Oh iya, sori,” ujarnya, masih dengan ekspresi datar. “Gue gak tau harus ngomong apa daritadi. Lo udah selesai makan?”

Bakugo melirik ke arah piring kosongnya. “Udah.”

“Oke… jadi paling gue briefing dulu kali ya tentang situasi gue?” tawar Todoroki, tampak bingung harus bicara apa. “Gue Todoroki Shoto, anak bungsu dari empat bersaudara. Ayah gue… hubungan kita itu... complicated, gue gak tau harus gimana ngomongnya...”

“Yaudah gausah, lo gak harus cerita detail,” sanggah Bakugo. Bakugo mungkin bukanlah orang yang terkenal atas keramahannya, tapi bahkan ia pun paham kalau ada pasti hal-hal yang dianggap sensitif oleh setiap orang. Everyone has skeletons in their closet.

Todoroki tampak lega mendengarnya. “Pokoknya singkat cerita dia berharap gue akan jadi penerus perusahaan dia, makanya hidup gue selama ini lumayan dikekang sama dia. Salah satunya itu, gue mau dijodohin. Dan gue gak dalam posisi dimana gue bisa menolak dia blak-blakan, which is why gue berharap kalo besok gue bawa pacar, he will lay off a little bit.

Fine,” sahut Bakugo. “Ada hal khusus gak yang harus gue lakuin pas dinner nanti?”

Todoroki mengerutkan dahinya, tampak berpikir. “Gak sih? Ayah sama kakak gue paling nanti bakal nanya-nanya lo aja gimana kita bisa kenal dan lain-lainnya… tapi harusnya gak akan ada yang aneh-aneh, considering kita lagi di tempat umum juga.”

Bakugo bahkan tidak ingin tahu apa yang Todoroki maksud dengan aneh-aneh. Mungkin problematika orang kaya. “Yaudah. Jadi gimana cara kita ketemuan? Lewat si Deku?”

“Iya gue juga mikirnya gitu,” sahut Todoroki. “Gue mikirnya waktu itu anak-anak SMA kalian lagi ngumpul-ngumpul dan Midoriya ngajak gue, terus dia ngenalin kita disitu. Habis itu lo minta nomor gue, kita sering ngobrol, lo sering ngajak gue jalan dan akhirnya kita pun jadian. It’s simple and believable enough, right?

“Tunggu dulu,” Bakugo menyerngit. “Kenapa gue yang kesannya ngejar-ngejar lo banget?!”

Sekilas, Todoroki tampak tersipu. “Kayaknya ayah gue gak akan percaya kalau gue bilang gue yang inisiatif duluan…”

Bakugo mendengus. Dasar, sepanjang hidupnya pasti tuan muda ini lah yang selalu dikejar dan dilayani orang-orang. “Yaelah. Yaudah suka-suka lo deh.”

“Tapi pasti dia bakal kepo gimana kita jadiannya… menurut lo gimana itu?” tanya Todoroki.

“Ya gak tau anjir? Gue ngomong aja ‘gue suka sama lo, ayok pacaran?’”

Raut wajah Todoroki tampak kecewa. “Gitu doang?”

“Ya lo maunya gimana buset,” hardik Bakugo. “Lo mau gue rakitin buket bunga, hah?” Sejujurnya, Bakugo sendiri juga sangat clueless terkait perkara romance, ia saja bahkan lupa kapan terakhir kali ia pergi berkencan. Asmara tidak pernah menjadi prioritasnya selama ini.

“Yaudah deh,” Todoroki mengalah. “Kita lagi nonton TV show kesukaan kita di apart gue terus lo tiba-tiba confess out of the blue.”

“Lo kebanyakan nonton rom-com apa gimana sih, dramatis banget.” Bakugo memutar bola matanya. “Lagian emang apa anjir TV show kesukaan lo?”

Heroes Rising.

Bakugo tercengang. Itu juga serial anime favoritnya– yang baru saja menguras dompetnya akibat membeli berbagai macam merch karakter kesukaannya, All Might. “Seriusan lo?” todong Bakugo. “Siapa karakter kesukaan lo?”

Todoroki tampak terkejut dengan perubahan sikap Bakugo. “All Might…”

“Lah dia kesukaan gue juga! Gue baru beli nendo dia kemaren anjing!”

“Yang limited edition kemaren?” Tiba-tiba mata Todoroki yang dari tadi minim ekspresi tampak berbinar-binar penuh kehidupan. Sekilas, lewat di kepala Bakugo kalau Todoroki tampak sangat menggemaskan– tapi Bakugo buru-buru mengusir pikiran itu. “Kok lo bisa dapet? Itu kan cepet banget sold outnya!”

“Gue udah mantengin dari jam 7 pagi. Sialan emang, padahal malem sebelumnya gue begadang gara-gara ngerjain essay,” decih Bakugo.

“Keren lo,” kini Todoroki tampak terkagum-kagum. “Lo paling suka season berapa?”

“2.”

“Hah itu kan yang animasinya paling jelek gara-gara baru ganti studio?”

“Ya emang kenapa?!” sahut Bakugo ngegas. “Tapi pas disitu character development-nya All Might paling kelihatan–”

Selama sejam kedepan, kedua mahasiswa itu pun sibuk berdebat seputar series kesukaan mereka itu, dan perlahan percakapan pun mulai merembet ke topik-topik lain seputar kehidupan mereka. Bakugo mengomel dengan menggebu-gebu tentang dosen-dosen menyebalkan di fakultasnya, dan Todoroki juga gantian bercerita tentang pusingnya mencari topik skripsi. Bakugo juga mengungkat-ungkit masalah uang DP kemaren, dengan emosi meyakinkan Todoroki kalau kemarin ia cuma bergurau dan bayarannya menemani Todoroki nanti tidak perlu sampai berjuta-juta.

Sangat tampak baik Bakugo maupun Todoroki bukanlah tipe orang yang cepat mudah akrab dengan orang baru– tapi percakapan mereka terbilang mengalir dengan cukup lancar, hingga tidak disangka matahari mulai terbenam dan tiba saatnya untuk mereka pulang.

“Eh lo tinggal dimana, mau gue anterin pulang?” tawar Bakugo.

“Gapapa gue udah pesen gojek kok, gue tinggal di apartemen yang sebelah stasiun itu,” sahut Todoroki. “Lo dimana?”

“Kosan, di belakang Fakultas Teknik.”

“Oh yaudah. Gue duluan ya, gojek gue udah mau sampe,” Todoroki melambai sambil berjalan keluar dari cafe. Namun ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berputar. “Bakugo.”

“Ha?”

Sebuah senyuman kecil terlukis di wajah Todoroki. “Makasih sekali lagi ya udah mau bantuin gue.”

Seolah tersihir, Bakugo hanya terdiam memandangi Todoroki yang kini sudah berbalik badan dan perlahan menghilang dari pandangannya. Sialan, kenapa manusia setengah-setengah itu harus terlahir sangat good-looking sih? gerutunya dalam hati.

Tapi tidak penting apa yang Bakugo rasakan saat itu. Perjanjian mereka akan berakhir minggu depan dan setelah itu kecil kemungkinan jalan mereka akan bersilangan lagi. Tidak ada gunanya memikirkan hal-hal yang tidak perlu.

Tidak masalah, toh Bakugo melakukan ini semua karena hanya menginginkan uang bayaran dari Todoroki saja.

“Gimana ikannya, enak?”

Tendou menaikkan kepalanya dari piringnya. “Enak! Lobsternya juga enak banget.”

Ushijima tersenyum tipis. “Baguslah.”

Untuk sesaat, mereka berdua terdiam dan fokus pada makanan mereka masing-masing. Tendou mengira tripnya ke Bali ini akan sangat canggung, namun di luar dugaannya suasanya diantara mereka berdua tidak sekaku itu. “Besok rencananya kita ngapain, Pak?”

“Pagi ada workshop,” sahut Ushijima sambil menyeruput teh panasnya. “Siangnya saya ada meeting, kamu terserah mau kemana. Baru malemnya kita ketemu sama orang Seijoh.”

Tendou manggut-manggut. “Oh gitu… oke pak.”

Sebenarnya ketika Tendou pikir-pikir lagi, keberadaannya disana tidak terlalu dibutuhkan. Sampai sekarang ia tidak mengerti alasan Ushijima mengajaknya ikut ke Bali. Memang benar ia ikut meng-handle project mereka kemaren, tapi ia bukan team leader atau semacamnya.

Mungkin Ushijima hanya menginginkan company-nya…? Tidak. Tendou buru-buru mengusir pikiran itu dari benaknya sebelum hatinya mulai berkhianat.

“Gimana Bali so far?”

“Yaa enak sih, ganti suasana,” Tendou tertawa, sedikit terkejut lagi-lagi Ushijima memulai percakapan. “Besok saya main ke pantai deh siangnya biar makin kerasa aura jalan-jalannya, haha.”

Ushijima tersenyum kecil, dan lagi-lagi nafas Tendou tercekat. “Kita disini 4 hari. Lusa kamu bebas mau ngapain aja.”

By the way, saya mau nanya…” ujar Ushijima kemudian. “Kamu enjoy kerja disini?”

Tendou tertegun. Apakah ini adalah pertanyaan jebakan? Apa gajinya akan dipotong jika ia menjawab jujur kalau, tidak, menjadi pekerja kantoran bukan cita-citanya?

Mungkin seharusnya Tendou menjawab basa-basi saja, tapi ada sesuatu di dalam mata Ushijima yang membuatnya ingin membuka diri. “Kalo boleh jujur… ini bukan mimpi saya sih pak,” sahut Tendou. “Tapi saya suka kok kerja disini.”

Ushijima tampak serius mendengarkan. “Mimpi kamu apa emangnya?”

Tendou menghela nafas. “Ini mungkin terdengar konyol tapi, mau buka bakery. Dari kecil saya suka baking, Tapi orang tua gak ngizinin sekolah kuliner dan kalo buka bakery sendiri kan agak gambling ya… apalagi saya belom financially stable banget sekarang…” Tendou segera berhenti begitu sadar ia telah bicara terlalu banyak. “Eh aduh maaf saya oversharing… tapi bukan berarti saya gak suka kerja disini!”

“Gak konyol,” sanggah Ushijima. “Menurut saya gak ada mimpi yang konyol. Semuanya patut dikejar. Apalagi kamu emang jago bikin kue kan? Kue-kue yang kadang kamu bawa ke kantor selalu enak. Makasih ya udah sharing ini sama saya… semoga suatu hari bisa kejadian.”

Tendou tertegun, hatinya langsung menghangat. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyangka dapat bicara heart-to-heart talk dengan bosnya yang selama ini tampak dingin dan sangat workaholic.

“Iya… makasih pak,” jawabnya, akhirnya. “Bapak sendiri emang dari dulu suka kerja di finance?”

“Iya. Saya suka berurusan sama angka-angka dari dulu,” sahut Ushijima. “Walaupun banyak lemburnya ya.”

Tendou refleks tertawa. “Lah kan bapak sih nyuruh saya lembur terus,” candanya.

Namun tanpa ia duga, tiba-tiba wajah Ushijima bersemu merah. Pria di hadapannya itu membuka mulutnya, lalu tiba-tiba menutupnya lagi seolah bingung mau bicara apa. Mendadak Tendou juga merasa wajahnya memanas.

“Oh iya, Pak Saru,” ujar Ushijima tiba-tiba, mendadak mengganti topik. “Dia dipindah cabang kemaren,” ujar Ushijima.

Tendou menaikkan alisnya. “Oh ya? Tiba-tiba banget?”

“Iya, kinerjanya dibutuhkan di tempat lain,” sahut Ushijima. “Dan sebenarnya... udah banyak juga yang protes mengenai dia karena... ya kamu tahu lah. Jadi saya yang mengusulkan dia dipindahkan saja.”

Walaupun kaget, Tendou merasa senang mendengar kabar baik kalau ia tidak perlu berurusan dengan manajer genit itu lagi. “Oh, oke pak…”

“Ushijima aja.”

“Eh maaf?”

“Kamu panggil Ushijima aja kalo lagi diluar kantor, gausah pak, formal banget,” ujar Ushijima. “Umur kita juga gak beda jauh-jauh banget sebenarnya.”

“Loh tapi kan bapak bos saya…” Tendou meringis. “Dan ini lagi trip kantor kan itungannya?”

Ushijima menggeleng. “Anggep aja sekarang lagi liburan biasa sekarang, aku kamu aja juga gapapa.” sahutnya. Tapi kemudian air wajahnya berubah meminta maaf. “Eh tapi, senyamannya kamu aja mau gimana, terserah kamu.”

“Oke deh, Ushijima…” Tendou mencoba melafalkan nama itu di lidahnya tanpa embel-embel ‘Pak’ dan merasa pipinya memerah.

Untungnya, tak lama, topik pembicaraan keduanya berganti ke hal-hal yang lebih ringan, seperti hobi dan interest mereka masing-masing.

Tapi Tendou merasa ada yang berubah sejak saat itu.

Ushijima bagaikan enigma, sebuah puzzle yang ingin ia selesaikan. Sejak dari awal bekerja di kantornya, Ushijima telah menarik perhatiannya melalui penampilan dan etos kerjanya— walaupun Tendou harus mengorbankan waktu tidurnya begitu bekerja dengan pria itu.

Tapi kini, diluar konteks pekerjaan, Tendou merasa sangat nyaman bicara dan terbuka pada pria itu, seolah mereka adalah teman lama, hingga Tendou pun merasa tidak ingin malam ini segera berakhir. Hal yang berbahaya, mengingat Ushijima adalah atasannya. Namun ia tidak bisa melawan perasaannya— atau lebih tepatnya, tidak mau.

Karena itu pula, malam ini saja, Tendou ingin berpura-pura melupakan status mereka sebagai bos dan karyawan dan lanjut mengobrol dengan Ushijima, membiarkan hatinya jatuh lebih dalam lagi.

Sudah hampir setengah jam Tendou berdiri di lobby kantornya sambil terus berusaha memuat ulang aplikasi ojek onlinenya. Saat itu jam dinding telah menunjukkan pukul 9 malam, tapi tidak kunjung pula ada yang menerima pesanannya.

Tak lama, ia melihat ada sesosok pria paruh baya keluar dari lift di belakangnya. Begitu menyadari siapa orang tersebut, Tendou refleks mengumpat dalam hati dan berdoa agar pria itu tidak menyadari keberadaannya.

Namun sia-sia, tiba-tiba ada sebuah tangan gempal mencengkram bahunya. “Loh, Tendou kan? Kok kamu kok masih disini?”

“Malam, Pak,” Tendou tersenyum canggung. “Iya nih, abis lembur…”

Pria itu, Pak Saru, adalah salah satu general manager di kantor Tendou. Sedari awal Tendou diterima di perusahaan ini, ia kerap mendengar kabar tidak mengenakkan mengenai Pak Saru yang suka menggoda anak-anak baru, baik laki-laki maupun perempuan. Dan benar saja, Tendou pun tidak luput pernah menjadi sasarannya dulu. Sering kali pria itu menyentuhnya secara tidak sopan saat berpapasan, sembari membisikkan ucapan-ucapan flirty yang membuat Tendou merasa sangat tidak nyaman. Namun, akibat tidak adanya bukti fisik dan pengaruh penting manajer itu di perusahaan, Tendou tidak bisa melakukan banyak hal untuk melawan.

“Saya juga baru kelar nih,” Pak Saru memberikannya cengiran puas. Tangannya belum juga berpindah dari bahu Tendou meskipun Tendou sudah berulang kali bergerak mundur. “Gimana kalo kamu pulang bareng saya aja? Udah lama juga kan nih kita gak ngobrol-ngobrol?”

Kepanikan mulai menjalar di dalam diri Tendou, berulang kali ia melirik ke aplikasi ojek online di hpnya yang belum juga membuahkan hasil. “Gak usah, makasih Pak… saya dijemput kok,” kilahnya.

“Ooh, sama pacar kamu?”

“Sama temen,” bohong Tendou lagi, kini jantungnya berdegup semakin cepat. “Kebetulan katanya dia ada di gerbang depan! Saya kesana duluan deh pak, permisi…”

Tapi begitu Tendou bergerak menjauh, tangan sang manajer yang tadi bersanggah di bahunya kini turun menahan pergelangan tangannya, menariknya mendekat. Refleks akibat panik, Tendou menampis tangan pria itu sambil bergerak mundur.

Sesaat, nampak kilatan berbahaya di mata Pak Saru. Pria itu mengulurkan tangannya lagi, seolah ingin menyentuh Tendou lagi. “Kamu kenapa sih, kok kagetan banget? Saya kan cuma nawarin nganterin kamu pulang aja, udah malem begini. Terus siapa tau nanti kita bisa mampir dimana gitu—”

Namun monolog Pak Saru tiba-tiba dipotong oleh dehaman suara bariton dari belakang mereka. Saat Tendou melirik ke balik punggung Pak Saru, tampak presiden direktur perusahaan mereka, Ushijima, sedang berjalan ke arah mereka berdua sambil menenteng briefcase hitam miliknya. Spontan, Pak Saru segera menarik tangannya dari lengan Tendou.

“Maaf, Pak Saru,” sapanya. Mungkin hanya perasaan Tendou saja, tapi Tendou merasa nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Sebenernya saya masih ada kerjaan yang harus diselesaiin sama Tendou. Bapak pulang duluan aja.”

Tendou tercengang. Ini sudah jam 9 lebih… kerjaan apa lagi?? Tapi disampingnya, Pak Saru kemudian segera mundur menjauh dari dirinya dan Ushijima. “Baik kalo gitu, saya pulang duluan ya,” pamitnya sambil mengangguk segan kepada Ushijima. “Malam, Pak.”

Ushijima hanya mengangguk singkat, memicingkan matanya selagi memastikan manajer itu sudah hilang dari pandangan. Kemudian, ia menoleh ke arah Tendou yang masih memandanginya dengan ragu.

Di satu sisi, Tendou lega karena Ushijima secara tidak langsung mengusir Pak Saru. Tapi di satu sisi lainnya, Tendou sudah bekerja 9-to-9 hari ini dan ia tidak percaya Ushijima akan menyuruhnya duduk di depan laptop lagi, dasar tidak punya hati—

“Kamu pulang naik apa?”

Hah? Ucapan Ushijima membuyarkan lamunan Tendou. “Eh… kereta sih, Pak. Ini lagi nunggu gojek…”

“Jam segini susah nyari gojek, dan kereta cuma ada sampe jam 10 kan?” ujar Ushijima, masih dengan wajah datarnya. “Kira-kira kamu keberatan… kalau saya antar pulang?”

Lagi-lagi yang lewat di pikiran Tendou hanya, hah?

“Ini kan salah saya juga kamu jadi lembur sampai jam segini,” ujar Ushijima kemudian. “Tapi kalo kamu gak nyaman yaudah gak apa-apa. Saya bisa pesankan taksi atau telfon supir saya di rumah buat kesini untuk lalu antar kamu pulang. Terserah kamu maunya gimana.”

“Eh… bentar, pak,” sahut Tendou kebingungan. “Bukannya tadi Bapak bilang kita masih ada kerjaan?”

Kini gantian wajah Ushijima yang tampak ragu… dan sedikit malu. “Itu gak beneran,” ujarnya. “Maaf tadi saya lihat kamu kurang nyaman gitu… jadi saya… ya begitu.”

Selama Tendou mengenal atasannya itu, Ushijima adalah seorang pria yang selalu menguarkan aura dominan dan percaya diri. Tipe orang yang bisa effortlessly membuat orang lain menaruh kepercayaan pada dirinya tanpa pikir panjang. Baru kali ini Tendou melihatnya tampak tidak yakin dengan dirinya sendiri dan entah kenapa, pemandangan itu membuat hati Tendou merasa hangat.

“Iya… makasih, Pak,” ujarnya, sedikit salah tingkah.

Selama semenit kemudian, mereka diliputi oleh keheningan yang kikuk, sampai akhirnya Ushijima berdeham lagi. “Jadi… gimana?”

Tendou melirik ponselnya yang belum kunjung memberikannya kabar baik dan akhirnya memutuskan untuk mengalah pada takdir. “Ya… boleh pak, kalau gak ngerepotin.”

Karena itu lah, Tendou mendapati dirinya di dalam mobil Ushijima malam hari itu. Sepanjang jalan, mereka berdua lebih banyak diam, hanya sesekali diisi dengan Tendou menunjukkan arah atau Ushijima menanyakan kegiatan sehari-hari Tendou selain di kantor. Ushijima tidak membawa-bawa kejadian dengan Pak Saru barusan, tapi menilai dari ekspresinya tadi, ia tampak gusar dengan perilaku rekan kerjanya itu.

Tetapi dalam keheningan itu pun, Tendou merasa aman dengan keberadaan pria disampingnya itu— sebuah kontras dari yang ia rasakan saat di lobby tadi. Keberadaan Ushijima seakan berperan sebagai jangkar yang menenangkan berbagai kegelisahannya. Malam itu, Tendou seakan melihat sisi baru dari atasannya itu.

Mungkin ternyata masih banyak hal yang belum Tendou ketahui tentang Ushijima Wakatoshi.

Jatuh cinta pada seseorang dan dicintai balik adalah sebuah privilese. Saat kau sedang jatuh cinta, sebenarnya saat itu juga kau dengan cuma-cuma memberikan hatimu untuk orang itu, menyuguhkan keputusan bebas kepada mereka entah untuk menjaga atau menyakiti hatimu.

Karena itulah kini Atsumu duduk di hadapan Sakusa, dengan alunan musik radio dari speaker cafe mengisi udara diantara mereka.

“Jadi lo mau ngomongin apa?” tanya Sakusa.

Atsumu menarik nafas panjang, memantapkah pilihannya. “Lo inget gak, awal-awal pas kita kenal, lo pernah bilang kalau gue pake topeng? Kayak ada sesuatu yg gue sembunyiin dari orang-orang,” mulainya.

Sakusa mengangguk. “Inget.”

“Tapi kalo kata gue, lo juga sama aja,” ujar Atsumu. “Lo juga pake topeng. Selama ini lo push people away karena lo takut bakal ditinggal sama orang-orang. Padahal aslinya lo juga sama aja kan kayak gue? Lo butuh seseorang juga kan aslinya?”

Sakusa hanya terdiam memandangi Atsumu, mengisyaratkannya untuk lanjut bicara. “Gue putus sama Hinata gara-gara lo,” ujar Atsumu, akhirnya mengeluarkan semua isi hatinya. “Gara-gara gue masih suka sama lo. And it’s stupid isn’t it? Bisa-bisanya I like someone else more than my own soulmate. Orang yang udah nyakitin gue pula.”

“Tapi… in a way, gue udah nyakitin lo juga gak sih?” Atsumu tersenyum miris. “Malem pas kita berantem itu, gue minta lo buat stay sama gue, padahal gue sendiri masih terpaku banget deep down kepengen nemuin soulmate gue. Itu gak adil juga kan buat lo? Gue minta maaf ya.”

Sakusa tampak terperangah. “Lo… lo masih suka sama gue? Setelah semuanya kemaren?”

Atsumu mengangguk. “Somehow, yes.

“Atsumu…”

“Tapi jujur, kalo lo nanya kemaren, bisa gak kita mulai semuanya dari awal? Jawabannya gue takut,” Atsumu menghela nafas. “I’m afraid of messing this up… kita gak punya red string buat menghubungkan kita. There’s nothing binding us. Gue takut tiba-tiba lo ngerasa gue gak worth it dan pergi begitu aja—”

“Gue takut juga,” potong Sakusa. “Kalo tiba-tiba lo mutusin lo mau merjuangin hubungan lo sama soulmate lo lagi… gue punya hak apa? Tapi… kalo misalnya ini lo beneran mau ngasih gue kesempatan…”

“Gue sama Hinata kayaknya lebih cocok as platonic soulmates, jadi temen,” ujar Atsumu. Ia juga teringat kembarannya, Osamu, yang tampak menyembunyikan fakta kalau ia sendiri tidak terlalu nyaman dengan soulmatenya. Sepertinya, memang masalah hati hanya diri sendiri yang paham dan harus menentukan pada akhirnya.

“Pas gue sama dia beda rasanya… kayak pas gue sama lo…”

“Jadi… jawaban lo iya?” tanya Sakusa. “Lo mau mulai dari awal lagi sama gue?”

Atsumu, kini merasa seluruh beban di bahunya terangkat, mengangguk mantap. “Iya.”

Sakusa tampak sangat lega, rona merah menghiasi pipinya. Ia melirik ke tangan Atsumu yang tergeletak di atas meja.

“Gue boleh pegang tangan lo?”

“Hah? Eh, yaudah pegang aja kenapa izin,” ujar Atsumu, salah tingkah.

Ketika tangan mereka saling menggenggam, Atsumu pun sadar— ini yang ia nantikan sejak dulu. Tidak ada benang merah atau apapun yang saling menghubungkan jari kelingking mereka, but everything seems to fall into place.

Sakusa feels like home.

“Biasanya orang pacaran tuh kenalan, PDKT, pacaran terus baru ngamar,” ujar Sakusa tiba-tiba, ia tampak malu-malu. “Karena kita kemaren kebalikan langsung skip ke tidur bareng… so, let’s just take things slowly this time? Kali ini kita kenalan lebih dalam dulu sama satu sama lain properly.”

Atsumu tertawa. Baru pertama kali ia melihat Sakusa mati gaya seperti ini. “Sounds good.”

Setelah itu, mereka pun larut mengobrol dan tertawa-tawa bersama di cafe itu hingga matahari terbenam. Berkenalan, mencari tahu tentang satu sama lain lebih dalam, mengungkapkan semua perasaan— perasaan yang selama ini terpendam.

Pada malam harinya, Sakusa tidak masuk ke kamar Atsumu, ia hanya berdiri di ambang pintu kamarnya. Jemari Atsumu meringkuk dengan hati-hati di lengan baju Sakusa selagi Sakusa menurunkan wajahnya untuk mencium Atsumu— hati keduanya berdegup dengan kencang, seakan-akan itu adalah ciuman pertama mereka.

Malam hari itu Sakusa tidak menemani Atsumu tidur, tapi Atsumu bangun keesokan paginya dengan bahagia, sebuah emosi yang sudah lama tidak ia rasakan. Tidak lagi ia bangun tidur melirik jari kelingkingnya— menumpukan pilihan hidupnya pada sebatas benang merah.

Ia bangun tidur, tersenyum melihat pesan dari Sakusa mengajaknya sarapan bareng dan kemudian segera bersiap-siap.

All in all, everything ends up well. Apapun yang terjadi di masa depan, Atsumu tahu ia tidak akan menyesali pilihannya ini.

cw // slight nsfw (kissing)


Begitu Atsumu membukakan pintu apartemennya, ia disambut oleh wajah riang Hinata. “Hai Tsum!” sapanya dengan energetik. “Ini aku bawain cemilan.”

“Eh iya… makasih,” Atsumu menerima pemberian chatime dari Hinata dengan tidak fokus.

Tapi Hinata tampak tidak menyadari perubahan sikap Atsumu, karena dengan semangat ia mengamati tiap sudut kamar Atsumu. “Ini pertama kali deh aku masuk kesini! Dulu-dulu kan cuma di lobby doang! Kamar kamu berantakan ih ternyata.”

Biasanya, sifat happy-go-lucky Hinata turut membangkitkan semangat Atsumu. Namun kali ini, dengan pikiran yang kalut akibat melihat foto sialan tadi, Atsumu setengah berharap Hinata mengurangi kehebohannya.

“Mau nonton apa nih kita?” lanjut Hinata. “Aku duduk di kasur kamu ya!”

“Iya duduk aja,” sahut Atsumu, kemudian berusaha memfokuskan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan Sakusa out of all people merusak kesenangannnya hari ini. Karena Atsumu sudah mendapatkan apa yang dia inginkan sejak kecil, seorang soulmate. Dan ia bahagia sekarang. Tidak perlu memusingkan hal-hal yang tidak relevan. “Aku kepikiran nonton Money Heist sih… atau coba kamu liat-liat aja ada yang keliatannya menarik gak.”

Hinata manggut-manggut, mengamati laptop Atsumu sambil sesekali menyeruput chatime miliknya. Atsumu memandanginya dengan geli. Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri kalau Hinata sangat menggemaskan— you can’t help but to coo over him.

Tak lama, mereka pun memutuskan untuk menonton Money Heist, seperti pilihan awal. Untuk sesaat, perhatian keduanya terfokus pada film dan camilan yang tersedia. Di saat pergantian episode, kepala Hinata sudah bersandar di bahu Atsumu dan tangan Atsumu melingkar di bahu Hinata.

Namun, alih-alih menekan pilihan episode selanjutnya, Atsumu terdiam. Mendadak jantungnya berdebar dengan kencang.

Haruskah ia melakukannya?

Hinata juga tampak menyadari kalau suasana di ruangan itu mulai berubah. Dengan hati-hati, Atsumu memutar posisi duduknya hingga mereka berhadapan, mata memandang satu sama lain.

“Hinata, boleh gak…”

Atsumu merasa sangat canggung, mengingat terakhir kali ia melakukan hal ini terjadi begitu saja tanpa banyak perawalan. Ia menaruh tangannya di rahang Hinata dan saat Hinata mengangguk memberi persetujuan, ia mendekatkan wajahnya dan mencium soulmate-nya itu.

Tidak lama, Hinata yang tampaknya sudah berpengalaman merangsek naik ke atas paha Atsumu, membiarkan Atsumu memperdalam ciuman mereka, larut dalam hawa nafsu.

Namun, tiba-tiba terlintas lagi foto tadi di pikirannya. Membuyarkan lamunannya dan mengisi dirinya dengan rasa kesal— rasa sakit hati. Fakta kalau sudah lama sekali terakhir ia berjumpa langsung dengan Sakusa juga tidak membantu kondisinya saat ini, karena mendadak rasa sakit di hatinya juga bercampur dengan rindu.

Teringat pula malam-malam penuh kehangatan yang ia habiskan dengan Sakusa di tempat yang sama, di kamar ini dan di ranjang ini. Maka karena itu, ketika Hinata menurunkan tangannya ke bawah- yang keluar dari mulut Atsumu adalah nama lain.

Omi.

Saat itu juga Hinata menarik tangannya seolah terbakar, bergeser mundur ke belakang. Kalau saja saat itu Atsumu langsung berakting seolah tidak terjadi apa-apa, mungkin hal tadi tidak akan menjadi masalah. Tapi Atsumu sama kagetnya dengan Hinata mendapati nama itu keluar dari mulutnya.

Keduanya saling bertatapan kaget hingga akhirnya Hinata yang duluan memecah keheningan. “Siapa…?”

“Bukan… eh, nggak,” ujar Atsumu terbata-bata, masih tertegun.

Melihat Atsumu tidak bisa menjawab, wajah Hinata yang biasanya penuh keceriaan kini diisi amarah. Ia segera berdiri dan membenarkan pakaiannya.

Dengan tatapan tajam, ia berkata, “Aku pergi dulu… aku gabisa mikir jernih sekarang.”

Dengan itu, Hinata pergi meninggalkan Atsumu sendirian di kamarnya. Mendadak, Atsumu langsung dipenuhi oleh rasa sesal dan takut. Apa yang telah ia lakukan? Kenapa ia mengacaukan hubungan spesial yang akhirnya ia raih, hanya karena patah hati kecil yang sudah berlalu lama?

Disela kepanikannya, ia merasa sangat marah. Bisa-bisanya Sakusa, yang kini sudah tidak memiliki hubungan apa-apa dengan dia, masih mengacaukan hidupnya.

Ada orang yang bilang, pikiran manusia akan melakukan segalanya untuk melindungi hati dari rasa sakit atau perasaan cemas yang berkepanjangan. Karena itu lah, setiap orang pasti memiliki defense mechanism yang akan otomatis bereaksi ketika orang tersebut sedang dipenuhi negativitas.

Bagi Atsumu, bentuk pertahanan itu adalah pushing people away. Ada bagian dari dirinya yang menyalahkan diri sendiri karena memperbolehkan semua ini terjadi. Sakusa memang brengsek telah menyakiti perasaannya, namun semua ini tidak luput juga terjadi karena kebodohannya. Sudah cukup ia benci pada dirinya sendiri, ia tidak ingin melibatkan orang-orang lain dalam masalahnya. Lagipula, if you are alone, no one can hurt you. A bit of a fucked up logic, but it’s not like you can think straight when you’re heartbroken.

Perjalanan menuju restoran tempat orang tua Miya menunggu dihabiskan dalam keheningan. Atsumu duduk di kursi belakang, sementara Suna menyetir dan Osamu duduk di sebelahnya.

Sebelumnya, siapapun teman bicaranya, biasanya Atsumu adalah orang yang mendominasi percakapan, membawa orang-orang ikut ke dalam arusnya. Tapi kini ketika ia diam saja, Atsumu baru menyadari betapa canggungnya Suna dan Osamu jika ia tidak hadir sebagai penengah. Mereka hanya mengobrol seperlunya dan bahkan Atsumu ikut merasa awkward menonton interaksi mereka dari belakang. Bukannya soulmate harusnya sangat comfortable around each other? batinnya pahit.

Tak lama, mobil mereka sampai ke restoran di pusat kota Jakarta dan mereka pun berjalan menemui orang tua Atsumu. Mereka semua bergantian memberikan selamat ulang tahun dan kado kepada ibu Atsumu, sebelum lalu duduk di kursi masing-masing.

“Suna apa kabar…?” Bunda Miya mulai berbasa-basi. “Kamu sekarang kegiatannya ngapain aja?”

“Yaa kuliah biasa aja Tante…” sahut Suna. “Sama magang paling.”

Percakapan ringan pun terus berlanjut, hingga akhirnya pertanyaan seribu dolar pun keluar. “Gimana hubungan nak Osamu sama Suna sekarang?”

“Temen aja bund,” jawab Osamu sambil menghela nafas, tampak lelah dengan pertanyaan itu. Sementara Suna terlihat salah tingkah.

“Ooh karena harus LDR ya sekarang… apa kalian mau langsung nikah aja nih lulus kuliah? Biar cepet,” ujar Bunda Miya, tertawa setengah bercanda.

Tapi reaksi Osamu dan Suna tidak menganggap itu candaan. Keduanya hanya terdiam dan fokus pada makanan mereka, tampak tidak nyaman. Atsumu mendengus. Dasar pasangan aneh.

“Eh kok kamu tumben diem aja,” tegur Ayah Miya kepada Atsumu.

“Eh gapapa, lagi mikirin tugas,” kilah Atsumu.

“Atau mikirin soulmate jangan-jangan?” sahut Bunda Miya. “Mana nih Atsumu kok gak ketemu-temu sama soulmate nya… cepetan dong biar nyusul kembaran kamu.”

Atsumu tersentak. Ia teringat perkataan Sakusa dahulu kala— lo bukan soulmate atau siapa-siapa gue, kita cuma fwb, kenapa lo marah? Dan mendadak ia pun naik darah lagi. Fuck soulmate. Kelaut saja konsep soulmate ini.

Kenapa juga ia tak kunjung bertemu soulmate-nya? Kalau saja ia sudah bertemu dari dulu, ia tidak akan perlu berurusan dengan Sakusa dari awal.

Mirisnya, ada pula suara kecil berbisik dalam dirinya, kalau tidak ada ‘soulmate’ di dunia ini, mungkin lo sama Sakusa punya kesempatan.

“Gak ada,” jawabnya tajam. “Gak butuh juga.”

“Atsumu,” Ayah Miya langsung menegurnya.

Atsumu semakin menaikkan suaranya. “Aku gak peduli mau gak akan ketemu sama soulmate apa gimana.”

“Atsumu! Kok gitu sih ngomongnya,” desis Bunda Miya.

“Lagian kenapa sih Bunda sama Ayah ribet banget soal urusan ini? Hidup kan hidup aku! Mau aku hidup sendiri kek atau apa ya terserah aku!”

“Atsumu, duduk!” bentak ayahnya.

Suasana hening. Tatapan keempat orang di meja itu tertuju pada Atsumu. Tanpa sadar, Atsumu bangkit dari kursinya karena terbawa emosi. Ia pun menarik nafas dengan gemetar. sebelum mengalihkan pandangannya ke tanah. “Aku… keluar dulu ya sebentar.”

Tanpa memedulikan protes ayah ibunya, Atsumu segera berjalan keluar dari restoran, masih dengan jantung berdebar-debar.

Ia tahu, amarahnya salah sasaran. Mendadak ia merasa kekanak-kanakan karena melampiaskan emosinya pada orang tuanya tanpa pikir panjang. Di ulang tahun ibunya pula. Emang gue anak gak tahu diri ya...

Masih dalam pikiran kalut, tanpa sadar Atsumu tersandung kerikil ketika ia sampai di area parkiran mobil. Ia berhasil menyeimbangkan dirinya, namun hpnya terlempar cukup jauh ke depan. Sambil mendecak kesal ia berusaha mengambil lagi benda itu. Namun sebelum ia sempat meraih hpnya, ada sebuah tangan kecil mengulurkan hpnya kepadanya.

Atsumu mendongak, dan mendapati dirinya berhadapan dengan seorang laki-laki seumurannya—atau malah tampak lebih muda—dengan rambut jingga megar.

“Ini kak, hati-hati ya!” ujarnya dengan riang. Bahkan di kegelapan malam pun, anak itu seolah menebarkan energi positif.

Saat Atsumu mengambil hpnya dari tangan lelaki itu, kedua tangan mereka bersentuhan— dan tiba-tiba keajaiban terjadi. Red string of fate, benang merah yang terlilit di kelingking kanannya bergerak sendiri. Atsumu mendadak juga dapat melihat benang merah di jari lelaki itu, dan ia tertegun menyaksikan kedua benang mereka saling mendekati dan menyambung pada satu sama lain.

Kini benang merah mereka berdua terhubung dengan utuh. Ketika ia menoleh ke atas, lelaki pendek dihadapannya itu juga memasang ekspresi yang sama dengan dirinya. Kaget. Melongo.

“Ehm…” ujar lelaki berambut jingga itu canggung. “Hai…?”

“Hai…” sahut Atsumu, masih kehilangan kata-kata.

“Jadi kita…?”

“Iya…”

Setelah mereka saling diam untuk sesaat, memproses keadaan, laki-laki itu angkat bicara lagi. “Nama aku Hinata!”

“Eh… eh hai,” ujar Atsumu. “Gue Atsumu.”

Soulmate-nya, Hinata, tampak membuka mulutnya untuk berkata lebih banyak lagi, tapi tiba-tiba hp miliknya berdering dan begitu melihat notifikasi di layarnya, wajahnya memucat.

“Ngg… kak aku harus pergi sekarang, lagi ditungguin…” ujarnya dengan agak panik. “Tapi kita…”

“Eh yaudah gapapa,” sahut Atsumu buru-buru. Hinata dengan kikuk langsung melambaikan tangannya dan hendak pergi.

Lucu sekali. Baru saja ia tadi marah-marah di depan orangtuanya karena perkara soulmate, dan kini seakan tiba-tiba langit menurunkan pasangan hidupnya di depan wajahnya. Di parkiran restoran pula. Ketika baru saja tadi ia mengatakan kalau ia tidak butuh seorang soulmate.

Dan pikiran itu pun terlintas di kepalanya. Butuhkah ia? Seorang soulmate?

Persetan lah. Sebelum Hinata di depannya menghilang, Atsumu memanggil namanya sekali lagi. Saat si rambut orange itu menoleh, Atsumu berlari kecil ke arahnya sambil menyodorkan hpnya.

“Sebelum lo pergi, boleh minta nomor hp lo?”

cw // nsfw, explicit scene, hate sex

Note: (disarankan sambil dengerin The Hills – The Weeknd atau Love on the Brain – Rihanna). dan btw ini aku nulisnya rada buru2 jadi maaf ya kalo ga sesuai ekspektasi :”)


Jika saja Atsumu mengikuti akal sehat rasionalnya, seharusnya ia tidak akan membuka pintu kamarnya.

Jika saja ia tidak dibutakan oleh cinta, atau emosi apapun itu yang mengalir dalam nadinya, ia akan menyuruh Sakusa untuk pulang dan bicara lagi kepada pria itu saat kepalanya sudah kembali dingin. Osamu selalu mengatakan kalau ia kerap mencari-cari penyakit sendiri. Atsumu tidak pernah setuju dengannya, namun malam itu tuduhan kembarannya itu terbukti benar.

Dengan emosi masih memuncak, ia membuka pintu kamarnya dan kemudian berhadapan dengan tak lain Sakusa Kiyoomi— sumber dari banyak masalah hidupnya saat ini. Meski wajah Sakusa tertutup masker, Atsumu tetap bisa mendeteksi kekesalan dan frustasi yang terpancar di wajahnya.

“Lo suka sama gue?”

Itu hal pertama yang keluar dari mulut Sakusa, dan itu langsung membuat Atsumu naik darah seketika. “Ngapain sih lo kesini?” desisnya.

Sakusa menutup pintu dibelakangnya, matanya memicing dengan tajam. “Padahal lo yang awalnya ngusulin kita jadi fwb,” tuduhnya, suaranya hanya sekeras bisikan, tapi tajam menghujam. “Kenapa bisa?”

Kenapa…?! Ingin rasanya Atsumu menjambak rambutnya sendiri frustasi. Bisa-bisanya Sakusa bertanya kenapa, saat dia yang selama ini menarik ulur Atsumu. Berlagak seolah ia peduli dengan segala perhatian dan sentuhannya, menanamkan benih-benih harapan di dalam hati Atsumu dan sekarang menginjaknya begitu saja.

Ketika Atsumu tak kunjung menjawab, Sakusa menghela nafas sambil mencopot maskernya. Untuk sesaat, matanya tampak sedih. “Gue kan bukan soulmate lo.”

“Ya terus kenapa?!” Kini Atsumu menaikkan suaranya. “Lagian kalo bisa juga gue gak mau suka sama lo anjing, orang gak tau diri dan brengsek kayak lo–”

Sakusa mentapnya tajam. “Iya emang gue akuin gue salah gak ngabarin lo kalau ternyata gue gak bisa nemuin lo tadi siang, dan gue minta maaf.”

“Ya dimaafin, pergi lo sekarang.”

“Tapi tetep aja itu gak menutup fakta kan kan?” Sakusa mengabaikan perkataannya tadi. “Kalo gue bener, kalo kita tuh bukan apa-apa.”

Atsumu terdiam, kehabisan kata-kata, sebelum amarah menguasainya lagi. Ia berjalan mendekat. “Lo tuh emang brengsek ya…”

Sakusa tersenyum kecut, mendekatkan wajahnya pada Atsumu juga. “Brengsek tapi lo suka juga.”

“Lucu lo,” Atsumu memelototi pria itu. “Enak ya, selama ini mainin gue?”

“Mainin? Lo yang ngusulin kita jadi fwb in the first place. Lo yang willingly put yourself in this position.”

“Apa sih mau lo sebenernya dari gue?” bentak Atsumu.

“Apa yang lo mau dari gue?”

Atsumu seakan kehilangan akal sehatnya, hanya ditutupi amarah dan tanpa pikir panjang lagi, ia menarik kerah kemeja Sakusa dan menyatukan bibir mereka. Dibandingkan ciuman, rasanya bibir mereka lebih pantas disebut saling menyerang satu sama lain. Atsumu menggigit bibir Sakusa dengan keras hingga ia bisa merasakan darah, seolah ingin menyalurkan semua emosi yang ia rasakan.

Sakusa mendesis kesakitan sebelum mendorong Atsumu ke atas kasur dan mengunci kedua pergelangan tangan Atsumu di atas kepalanya. Untuk sesaat, keduanya saling menatap penuh benci, sebelum Sakusa kembali mencium Atsumu lagi sampai keduanya kehabisan nafas.

Tak lama, Sakusa menarik dirinya. “Buka baju lo,” ujarnya, terdengar seperti perintah. Sakusa biasanya tidak pernah banyak bicara di ranjang, sehingga keagresifannya membuat Atsumu tertegun. “Tadi gue tanya mau lo apa, dan lo malah nyium gue. Jadi kalo lo ini cuma mau tidur sama gue, yaudah cepetan, gue ladenin.”

Di tengah pikiran kalutnya, Atsumu lantas menanggalkan pakaiannya dan menarik Sakusa mendekat dengan kasar, membantu mengeluarkannya dari pakaiannya pula. Sekilas, ia bisa melihat bekas-bekas memar yang ia tinggalkan di tubuh Sakusa beberapa hari sebelumnya. Namun pikiran pengkhianatnya juga berbisik, bagaimana kalau tanda itu bukan dari lo doang? Gimana kalau itu dari perempuan tadi?

Mendadak, Atsumu dilanda gelombang amarah baru dan ia menyambar botol lubricant dari meja samping tempat tidurnya dan mulai membasahi jari-jarinya dengan itu. Tapi saat ia melihat Sakusa bergerak ingin membantunya, ia menahan dada laki-laki itu dengan kakinya. “Diem lo.”

Sakusa menggeser kaki Atsumu dengan kesal, tapi ia duduk manis diam menonton Atsumu mempersiapkan diri sendiri dengan jari-jarinya. Begitu selesai, dengan nafas terengah-engah Atsumu melempar kotak kondom kepada Sakusa. Sakusa memutar bola matanya, memakaikan pengaman selagi Atsumu bergerak mendekat dan naik ke atasnya, menurunkan dirinya pada kejantanan Sakusa.

Ia mendesis begitu merasakan lubangnya mulai meregang akibat ukuran Sakusa, namun desahannya kembali tertelan begitu Sakusa kembali menguncinya dalam ciuman panas. Atsumu mencakar punggung Sakusa selagi pinggulnya bergerak naik turun, mewarnainya dengan garis-garis merah, melampiaskan emosi dan sakit hati yang ia rasakan pada setiap garisnya.

“Coba aja lo bisa liat muka lo sekarang,” ujar Sakusa tiba-tiba, menarik wajahnya dari leher Atsumu. “Dari tadi ngatain gue brengsek, tapi sekarang liat lo, malah keenakan gitu.”

Atsumu memelototinya dengan tajam. “Itu dua hal yang berbeda,” ujarnya, sebelum mengerang lagi karena Sakusa menaikkan pinggulnya, menumbuk titik nikmat di dalam Atsumu. “Lo tetep brengsek.”

Sakusa lalu tiba-tiba mengeluarkan dirinya dari tubuh Atsumu sebelum ia mengangguk ke arah kasur. “Sana balik badan.”

Atsumu ingin protes, tapi ia tidak bisa berpikir jernih akibat kekosongan yang tiba-tiba ia rasakan di tubuh bagian bawahnya. Seolah bagaikan autopilot, ia membalik badannya, bertumpu pada siku dan lututnya. Tak lama, ia merasa Sakusa kembali memasuki dirinya, kali ini dengan intensitas dan kekuatan yang keras, mematikan semua protes Atsumu dan meninggalkannya hanya dengan desahan-desahan nikmat. Gerakan Sakusa, masih dibumbui sisa-sisa amarah, juga jauh lebih kasar dan keras dari biasanya.

Tak lama, mereka berdua pun mencapai puncak klimaks masing-masing. Atsumu keluar lebih dahulu, lalu disusul Sakusa dengan gigitan keras di pundak Atsumu.

Masih dengan nafas terengah-engah, Atsumu menoleh dengan lemas ke arahnya. Orgasme membuat pikirannya lebih tenang dan emosinya sedikit teredam, sehingga ia berniat menawarkan permintaan maaf kepada Sakusa atas ledakan amarahnya tadi, tapi Sakusa mendahuluinya memecah keheningan.

“Lo gak suka sama gue, Tsum.”

Atsumu tertegun. “Hah?”

“Lo aja enggak kenal sama gue,” ujar Sakusa, pandangannya terpaku pada luar jendela, dimana langit sudah mulai gelap. “Kita ketemu paling seminggu sekali dua kali, tidur bareng, terus udah. You only like the idea of me.

Hati Atsumu seakan tertohok. “Ya makanya lo bolehin gue kenal sama lo lebih dalem dong... fuck soulmate,” ujar Atsumu, dan terkejut saat mendapati ia sungguh-sungguh dalam perkataannya. Semenjak bertemu Sakusa, tidak pernah sekali pun pikiran tentang soulmatenya melintas di kepalanya. “Apa salahnya sih nyoba?”

“Masalahnya adalah...” ujar Sakusa. “Gue gak suka sama lo. Gak pernah sekali pun ada rasa.”

Untuk sedetik, Atsumu bisa melihat kesedihan di mata Sakusa, sebelum tergantikan oleh ekspresi datarnya lagi. “Dari awal, I’m just only in it for the sex. That’s it. Arrangement ini bertahan selama ini ya because the sex was good. Nothing more.”

Atsumu terdiam. “Ini lo beneran?”

“Iya.”

Refleks, Atsumu tertawa miris. “Temen-temen gue udah ngingetin sebelomnya, buat narik diri kalo misalnya gue merasa udah masukin zona bahaya,” ujarnya. “Tapi gue bego, gue malah gak cerita-cerita ke mereka dan dengan naifnya berharap kalo…” Atsumu mendadak tidak bisa melanjutkan kalimatnya. “Kalo…” Kalo kita ada harapan.

“Ya that’s on you,” ujar Sakusa, masih tidak mau menatap wajah Atsumu. Gak ada yang nyuruh lo naro harapan.

Atsumu menghela nafas dengan gemetar. Harusnya ia tidak mendengarkan saran Osamu, harusnya ia tidak pernah mengajak Sakusa bertemu di luar urusan kasur… jika begitu mungkin hubungan mereka tidak—belum—akan rusak seperti ini.

“Yaudah keluar sana lo,” ujar Atsumu, seolah kehilangan seluruh energinya.

“Kita udahin aja semua ini. Kalo ada apa-apa soal bendahara Olim Haikyuu lo hubungin gue aja lewat DM Twitter. Sisanya udah, gak usah ngomong sama gue lagi.”

Sakusa terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oke.”

Dalam keheningan, Sakusa mengenakan kembali pakaiannya dan menuju ke pintu kamar Atsumu. Sebelum ia membuka gagang pintu, ia berhenti dan berucap pelan, “Maaf ya... Atsumu.”

Dengan itu pun ia pergi, masih membawa serpihan hati Atsumu dalam genggamannya. Saat ia tinggal sendiri, Atsumu pun akhirnya memperbolehkan air matanya untuk mengalir keluar setelah sekian lama.

Hatinya terus mempertanyakan, Sakusa bukan lah soulmate yang ditakdirkan untuknya, tapi kenapa semua ini terasa sangat sakit?

warning: explicit nsfw scenes. read at your own risk


“Yang bagian ini dipindahin kesini aja jadinya,” Sakusa menunjuk tabel yang terbuka di layar laptopnya. Saat itu keduanya sedang duduk di lantai apartemen studio milik Atsumu, dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Atsumu menyerngit. “Yang ini dikosongin aja?”

“Iya, soalnya divisi kesenian belum ngasih budget mereka,” jawab Sakusa. “Nanti ingetin gue ya buat nagih.”

“Oh oke. Jadi udah nih?” tanya Atsumu.

“Udah,” sahut Sakusa sambil menutup macbook miliknya. Ia melirik ke arah pintu, seolah mengisyaratkan kalau ia tidak ingin berlama-lama disitu lebih dari yang diperlukan.

Jujur, bagi Atsumu, Sakusa sangat menyebalkan, mulai dari segala tingkah pura-pura tidak ingat dan acuh tak acuhnya. Tapi karena satu dan lain hal yang tidak ia mengerti, Atsumu tidak ingin Sakusa pergi begitu saja saat itu. Seolah-olah, ada suatu hal yang menariknya kepada orang itu, walaupun tentu saja Atsumu lebih baik putus kuliah daripada mengakuinya terang-terangan.

Sebuah hal yang lucu, mengingat mereka sepasang soulmate saja bukan.

“Lo gamau pesen makanan atau apa dulu?” tawar Atsumu kemudian tanpa berpikir panjang.

Sakusa mengerutkan dahinya. “Lo bukannya abis ketemuan sama temen lo? Emangnya lo gak makan tadi?”

Salah tingkah, Atsumu langsung mengibaskan tangannya. “Ya gue udah laper lagi.”

“Gak usah, gue udah makan,” timpal Sakusa kemudian. Tetapi habis itu ia terdiam, tidak lagi menunjukkan tanda-tanda ingin segera cabut pergi.

Mendadak mendapat ide, Atsumu lantas bangkit dan membuka kulkas miliknya, mengeluarkan sebotol soju yang ia beli beberapa hari yang lalu. Ia pun tersenyum miring. “Kalo sharing ini, mau gak lo?”

Sakusa tampak menimbang-nimbang jawabannya sesaat sebelum akhirnya ia menaikkan bahunya. “Why not.

Begitu Atsumu selesai menuang minuman itu ke gelas yang tersedia, mereka berdua pun duduk dalam keheningan sambil menenggak minuman masing-masing. Hanya suara detak jam dan alunan lagu-lagu The Neighbourhood dari laptop Atsumu yang menyelimuti apartemen itu.

Begitu Atsumu merasa kepalanya mulai ringan dan tubuhnya menghangat, ia pun berdeham memecah keheningan. “Gue mau nanya satu hal dong.”

Sakusa menyesap minumannya, terlihat masih seratus persen sadar. “Gue tebak ya pertanyaan lo.”

Atsumu menaikkan alisnya. “Hah?”

“Kenapa gue pura-pura gak inget lo kemarin?”

“Oh kalo itu sih I figure emang lo brengsek aja,” Atsumu terkekeh. “Tapi gue gak mau nanya itu sih. Gue mau nanya… kenapa lo ngajak ketemuan? Sebenernya ngerjain ginian lewat chat atau telfon aja juga bisa.”

Sakusa menghela nafas. “Gue juga gak tau, pengen aja.”

“Pengen ketemuan sama gue?” sahut Atsumu, playing with fire.

Maybe.

Atsumu mendengus. “Aneh lo.”

Sakusa tersenyum miring. Kemudian, dengan pandangan masih terpatri pada tembok Atsumu, ia berkata, “Gue minta maaf.”

“Hah?”

“Selama ini gue one night stand gak pernah sama orang yang possibly bakal gue ketemu lagi, jadi gue gak pernah ada masalah langsung cabut tanpa ngasih penjelasan apa-apa,” ungkap Sakusa. “But that was a dick move, I admit. Harusnya pas rapat kemaren gue gak pura-pura gak kenal lo kayak gitu. Maaf juga udah ngacangin dm twitter lo.”

Atsumu mendengus. “Gue ngerti kok konsep one night stand, dan ya emang that was shitty, but let’s be clear here, gue gak ada maksud apa-apa juga sama lo.”

“Makanya maaf ya,” ujar Sakusa. “Lagian kalo mau bilang kita udah kenal, bingung juga ngomongnya gimana ke Kitashin.”

“Harusnya lo ngomong aja, ‘udah kenal kok, kita habis 2 ronde semalem’.”

Mendengar hal itu, Sakusa refleks tertawa. Itu adalah pertama kalinya Atsumu mendengar tawa lepas pria tersebut dan Atsumu tertegun. Sial. Pria disampingnya itu menjengkelkan dan membingungkan— but he’s sure is attractive.

You’re staring again.

Atsumu tersentak dari lamunannya. “Hah?”

“Pas di club kemaren juga,” ujar Sakusa. “Lo ngeliatin gue terus.”

“Oh.” Alkohol dalam sistemnya membuat Atsumu tidak bisa bereaksi banyak. “Apa itu bikin lo gak nyaman?”

Sakusa bergerak mendekat, hingga kini kaki mereka bersentuhan. “Gapapa sih. Karena gue juga merhatiin lo kemaren.”

“Oh ya? Apa yang lo liat?”

“Gue liat… kalo lo tuh semacam masang topeng gitu di depan orang-orang banyak.”

Atsumu menaikkan alisnya. “Hah? Coba jelasin.”

“Pas bareng anak-anak, lo ketawa-tawa kayak you don’t give a shit about anything. Lo juga berisik banget. Kalo lagi ngobrol juga you have to be the loudest in the room, seolah-olah itu kompensasi atas suatu hal lain. Tapi gue juga liat sesekali lo pasti bakal menjauh dari yang lain buat duduk sendiri dan muka lo keliatan… kesepian? Berjarak? Seakan there’s a side of you yang sengaja gak lo tunjukin ke orang banyak. Jadi, ya, topeng.”

“Ini lo lagi role play jadi therapist gue ceritanya sekarang?” Atsumu mendengus, sedikit merasa tersinggung karena apa yang dikatakan Sakusa ada benarnya. “Lo aja gak kenal sama gue.”

“Ya emang enggak. Gue aja gak tau sekarang ini mau lo apa,” sahut Sakusa sambil meletakkan gelasnya di lantai. “Tapi gara-gara itu…”

“Gara-gara itu…?”

“Gue pengen… ngelepas topeng lo itu dulu sebentar,” ujar Sakusa, sukses membuat Atsumu tertegun. “Atas izin lo, tentu saja.”

Atsumu seharusnya sudah belajar dari pengalamannya. Last week was a mistake. He’s just setting himself for another heartbreak. Orang seperti dirinya, yang terbuai oleh idealisme manis yang dijanjikan konsep ‘soulmate’ semenjak kecil, sudah dipastikan tidak akan berhasil menavigasi hubungan yang hanya akan menuntut kepuasan fisik.

Tapi Atsumu juga manusia. Terkadang, dering keras alarm peringatan dalam pikiran pun terkalahkan oleh bisikan-bisikan dari hati.

Untuk kedua kalinya dalam minggu itu, Atsumu mengangguk. Ia memajukan kepalanya ke depan, and Sakusa meets him halfway.

Sakusa memagut bibir keduanya dengan satu tangannya di leher Atsumu, sementara tangan Atsumu mencengkram erat kain hoodie milik Sakusa. Semakin panjang dan bergairah ciuman mereka, semakin terasa seakan ada ledakan bintang-bintang di balik kelopak mata Atsumu. Dalam satu gerakan, Atsumu bangkit duduk di atas pangkuan Sakusa, menarik wajah Sakusa dan memperdalam ciuman mereka. Lidah mereka bergerak mendesak satu sama lain, bertukar sisa-sisa alkohol yang masih meresap di rongga mulut mereka.

“Miya.” Suara Sakusa terasa seperti kain sutra, lembut menyapu pipi Atsumu.

Sakusa menyender lebih jauh ke sofa di belakangnya, jemarinya menari-nari di atas paha Atsumu, semakin ke atas hingga ia menyentuh bagian pinggang Atsumu yang tidak tertutupi pakaian. Tangan Sakusa terasa dingin bagaikan es di kulit Atsumu, tapi itu tidak menghentikan Atsumu dari tetap menciumi lelaki berambut keriting itu seakan-akan hidup dan matinya bergantung pada hal itu.

Tak lama, Sakusa menarik bibirnya menjauh dan meninggalkan ciuman-ciuman yang disertai gigitan kecil sepanjang rahang dan leher Atsumu, membuat Atsumu tanpa sadar mengeluarkan desahan-desahan kecil.

“Sama kayak kemaren. Lo masih sensitif di bagian ini,” bisik Sakusa sambil lanjut meninggalkan tanda-tanda kemerahan di leher Atsumu.

“Diem lo,” Atsumu mengerang, mencengkram bahu Sakusa. Kemudian, dengan nafas terengah-engah, ia bertanya, “Mau pindah ke kasur?”

“Dengan senang hati.” Sakusa bangkit dan membiarkan Atsumu menariknya ke kasur. Atsumu tidak pernah se-forward ini, tapi pengaruh alkohol memberikannya keberanian untuk menanggalkan pakaiannya satu persatu— menikmati tatapan Sakusa yang tidak lepas dari dirinya sepanjang itu.

Saat Sakusa bergerak maju untuk menciumnya lagi, Atsumu menahan Sakusa, sambil berbisik di telinganya, “Ayo, baju lo juga.”

Bossy,” sindir Sakusa, membuat Atsumu tertawa. Tapi tanpa butuh waktu lama, Sakusa telah melepas hoodie dan celana jeans yang ia kenakan, memberikan Atsumu pemandangan langsung tubuh dan perut bidangnya. “Mana itu lo…?”

Mengerti maksud Sakusa, Atsumu merogoh-rogoh meja kecil di samping kasurnya untuk mengambil pengaman dan sebotol pelumas.

Sakusa mendengus selagi menerima kedua barang itu, melumasi jari-jarinya dengan lubricant. “Gue masih gak habis pikir deh, lagak lo kayak perawan tapi ngestok beginian di kamar.”

“Kurang ajar, kayak lo gak nyimpen aja,” Atsumu menendang kaki pria itu bercanda. “Itu hadiah dari si Suna btw.”

“Pantes,” Sakusa terkekeh, sambil kemudian perlahan memasukkan jarinya satu persatu ke dalam lubang Atsumu, membuat lelaki berambut pirang itu refleks mendesis.

Selagi Sakusa memaju mundurkan tangannya, perlahan rasa sakit yang dirasakan Atsumu pun mulai bercampur dengan kenikmatan. Begitu Sakusa selesai mempersiapkan Atsumu dengan jemarinya, ia pun memajukan tubuhnya ke depan, kedua sikunya bertumpu di sebelah kepala Atsumu. Ia mengunci Atsumu kembali dalam ciuman panas selagi perlahan memasukkan kejantanannya ke dalam lubang hangat Atsumu. Atsumu melepas pagutan bibir mereka untuk mengerang, berteriak nikmat saat Sakusa menghujami titik terdalam dari dirinya bertubi-tubi.

Atsumu melingkarkan kedua kakinya di pinggang Sakusa, mendorong laki-laki itu agar masuk lebih dalam lagi, dan Sakusa pun memberikan apa yang ia inginkan, menumbuk tubuhnya dengan keras hingga kasur di bawah mereka berdecit. Tak lupa, ia kunjung menggigit dan menciumi setiap inci leher dan punggung Atsumu, menandainya sesuka hati seolah lupa kalau si pirang itu bukanlah miliknya.

Saat Atsumu mengeluarkan sebuah erangan panjang, Sakusa menutup mulutnya dengan tangannya. “Diem, bego. Lo mau satu lantai denger?”

Frustasi, Atsumu menggigit telapak tangan Sakusa. Sakusa memutar bola matanya dan mereponnya dengan satu sodokan keras yang membuat Atsumu kehabisan nafas. Dasar orang aneh, batin Atsumu tidak fokus. Kalau Sakusa tidak ingin Atsumu berisik, kenapa gerakan pinggulnya sendiri semakin cepat dan kuat?

Tidak lama, Atsumu merasa sebentar lagi dirinya akan selesai. Sekujur tubuhnya menegang, satu tangannya mencengkram kain sprei dengan putus asa sementara satu laginya ia gunakan untuk mencakar punggung Sakusa—mencari tumpuan selagi akal sehatnya mulai meninggalkan dirinya. Sementara Sakusa kini mengaitkan tangannya di bawah lutut Atsumu dan menekan kaki Atsumu ke atas dadanya, membuat gerakan pinggulnya menjadi semakin dalam.

Atsumu pun mengerang kencang seakan menemukan kenikmatan duniawi, lubangnya tanpa sadar menjepit Sakusa semakin kencang selagi substansi putih menyembur keluar sebagai tanda ia sudah mencapai klimaksnya.

Tidak lama, Sakusa pun juga menemukan klimaksnya. Ia memberikan Atsumu satu hujaman keras di titik nikmatnya, sebelum menenggelamkan kepalanya di leher Atsumu untuk meredam desahannya.

Dengan nafas terengah-engah, keduanya pun terdiam masih dalam posisi menyatu sebelum akhirnya Sakusa perlahan mengeluarkan dirinya keluar dari tubuh Atsumu, lalu jatuh ambruk di sampingnya.

Tidak ada energi, Atsumu hanya bisa bergumam ke langit-langit. “That was… wow.

Sakusa mengangguk, mengiyakan Atsumu tanpa suara. Tidak lama kemudian, ia pun bangkit dari kasur. “Miya, pinjem shower lo ya.”

Atsumu melongo. “Hah anjir, lo mau mandi?”

“Gue gak bisa tidur kalo… begini,” Sakusa menunjuk bekas-bekas cairan hasil klimaks mereka yang mulai mengering di badannya. “Lo juga harusnya bersih-bersih.”

Atsumu mengibaskan tangannya asal. “Gue capek banget, tadi abis keluar juga, besok aja gue.”

Sakusa memberikannya tatapan menghakimi, tapi ia lalu melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi tanpa banyak kata lagi. Namun, di tengah jalan ia berhenti dan menoleh kepada Atsumu yang sudah setengah tertidur. “Harusnya yang kemaren itu one time-thing aja,” ujarnya pelan. “I’m not looking for any relationship.

“Ya gue juga nggak…” Atsumu, sudah di ambang kesadaran, hanya mendecak tidak peduli.

Namun, hal terakhir yang Atsumu ingat sebelum ia dikuasai rasa kantuk adalah ia tidak keberatan, jika harus melakukan semua ini lagi dengan Sakusa.

Hangat sinar matahari yang menyelinap masuk di sela-sela tirai jendela menarik Atsumu keluar dari alam mimpi. Ketika ia duduk, rasa sakit menjalar di tubuh bagian bawahnya. Tidak luput juga muncul sedikit rasa kecewa saat mendapati kasur di sebelahnya kosong.

Atsumu menghela nafas. Apa pula yang ia harapkan? Dia sendiri yang memilih agar ini terjadi.

Ia pun menyibakkan selimut dan bangkit menuju ke kamar mandi, bersiap untuk memulai hari. Berusaha melupakan ingatan tentang sentuhan hangat dan rambut keriting hitam dari malam sebelumnya.

WARNING: ada slight nsfw content di bagian akhir (not explicit), minor dimohon skip aja bagian akhirnya. dosa ditanggung sendiri.


“Woy sinii!!” Tampak tangan Oikawa melambai-lambai dari kejauhan.

Setelah berjalan diantara kerumunan manusia yang mulai kehilangan kesadaran mereka, Atsumu dan yang lainnya pun sampai ke meja tempat Oikawa duduk.

“Idih udah gue bilangin jangan ngaret, gue udah disini dari lama tau!” Oikawa memutar bola matanya, sambil memperlihatkan jam tangannya yang kini menunjukkan pukul setengah 12 malam.

“Iya, iya sori bang,” Suna hanya memberikan cengiran bersalah. “Tadi mobil gue sempet ngadat dulu soalnya.”

Sebelum Oikawa sempat melanjutkan omelannya, pria berambut hitam jabrik yang duduk disebelahnya menoyor wajahnya. “Santai, tadi kita juga mepet datengnya gara-gara ini satu lama banget siap-siapnya.”

Oikawa mencibir. “Ih kamu diem aja deh.”

“Eh Iwa, apa kabar bro?” sahut Bokuto dengan semangat, meloncat maju ke depan.

“Baik, lo pada gimana?” sahut Iwaizumi sambil mengajak mereka semua yang baru datang tos satu persatu.

Iwaizumi lalu menoleh ke arah dua orang disampingnya yang daritadi tenggelam dalam obrolan mereka sendiri. “Eh kenalin ini temen-temen gue. Yang rambut abu-abu itu Semi, yang pake masker namanya Sakusa,” ujarnya. “Kalian berdua, kenalin ini temen-temennya Tooru. Yang rambut jabrik sebelah itu Kuroo, yang hyper banget itu Bokuto, yang ini Suna, dan si pirang ini Miya Atsumu.”

“Ooh gue kenal lo deh kayaknya. Lo yang kemaren manggung di pensi acara anak teknik kan?” tanya Suna kepada lelaki yang bersurai abu-abu.

“Iya, kebetulan kita sekalian celebrate juga nih si bandnya Semi baru aja dapet gig gede!” sahut Oikawa sambil berdiri dengan heboh, sebelum oleng hilang keseimbangan. “Keren gak tuh!”

Iwaizumi segera menarik Oikawa kembali ke kursinya lagi. “Tooru, duduk aja deh kamu jangan heboh sendiri.”

“Anjing kebiasaan lo Oik, udah mabok aja sih lo,” Kuroo terkekeh.

“Eh sialan belom ya ini!!“ Oikawa melengos. “Lagian siapa suruh lo dateng kesini seabad?”

By the way duduk gih, kalian udah gue pesenin tequila satu botol,” ujar Iwaizumi. “Nanti kalo mau nambah pesen sendiri lagi aja.”

Atsumu yang tadi berdiri paling ujung, sadar kini kursi yang tersisa hanya satu bangku persis di hadapan Sakusa, pria bermasker yang tadi dikenalkan oleh Iwaizumi. Dengan canggung, akhirnya ia duduk disana.

“Kalo lo anak sipil juga ya bro?” tanya Kuroo kepada Sakusa.

Sakusa mengangguk. “Iya, satu angkatan dibawah mereka berdua.”

Mereka berdua lalu mengobrol basa-basi singkat, namun tak tak lama perhatian Kuroo teralihkan oleh Iwaizumi dan Bokuto yang sibuk berdebat tentang isu-isu politik yang sedang menghangat.

Biasanya Atsumu tidak sungkan untuk ikut nimbrung, tapi mengingat posisi duduknya berada cukup jauh dari mereka, satu-satunya orang yang bisa dia ajak ngobrol saat itu adalah Sakusa, tetapi pria itu dari tadi hanya diam sambil sesekali mengecek hpnya.

Tidak tahan duduk dalam keheningan lebih lama, Atsumu tiba-tiba menyembur. “Lo lagi sakit?”

Spontan, Sakusa langsung menoleh dengan bingung. “Hah, enggak?”

“Ya abis lo pake masker,” ujar Atsumu sambil menenggak minumannya. “Siapa coba yang ke club pake masker?”

“Ya gue ini,” sahut Sakusa, mengerutkan dahinya.

“Ya kenapa tuh?” desak Atsumu.

“Gue gak suka kotor-kotor soalnya,” ujar Sakusa akhirnya sambil memutar gelas berisi vodka miliknya.

Atsumu refleks tertawa. “Lah ya terus lo ngapain kesini? Namanya club ya isinya asep rokok sama bakteri semua.”

Sakusa hanya menghela nafas. “Ya kalo boleh milih gue juga lebih prefer minum di apart aja, tapi ini kesini sekalian mau ngerayain si Semi juga.”

“Ooh gitu…” Atsumu melirik ke arah Semi, yang kini sedang asyik mengobrol dengan Suna. Kemudian ia tersadar sesuatu. “Eh Semi… dia soulmate lo?”

Sakusa mengangkat alisnya. “Bukan.”

“Ooh.. terus?”

“Terus apa?”

Atsumu mendecak. “Ah gak jadi deh.”

“Lagian lo mau nanya soulmate gue mana pake muter-muter,” Sakusa terkekeh. “Gaada. Gue belom ketemu soulmate gue.” Ia lalu menurunkan maskernya untuk menyesap minumannya, dan Atsumu terkesiap— benar kata Oikawa kemarin, he’s pretty much good-looking, dengan rahang tegas dan mata segelap obsidiannya.

“…Lo?”

Atsumu tersentak dari lamunannya, begitu sadar kalo pria di hadapannya bertanya sesuatu kepadanya. “Eh sori gak denger,” ujar Atsumu, berdoa agar lampu remang-remang club menyembunyikan semburat merah di wajahnya. “Kenapa?”

“Kalo lo gimana,” ujar Sakusa sambil menatapnya geli, tampaknya sadar alasan kenapa Atsumu melamun tadi.

Malu, Atsumu buru-buru mengangkat gelasnya untuk mencari kesibukan. “Gue juga belum ketemu.”

Setelah itu, perhatian mereka pun tersita oleh teman-teman mereka yang lain. Semakin larutnya malam, suasana pun juga berubah semakin ramai. Para mahasiswa itu pun juga sudah mulai mengawang di ambang batas kesadaran mereka.

Sepanjang malam itu pula, Atsumu tidak bisa melepaskan Sakusa dari sudut pandangnya. Mereka tidak berinteraksi banyak lagi setelah perbincangan singkat tadi, namun gerak-gerik lelaki bermasker itu tetap terlintas dalam radarnya.

Di penghujung pagi, Bokuto kini sudah naik ke atas meja dan bernyanyi dengan heboh sementara Atsumu dan Kuroo berusaha menariknya turun selagi tertawa cekikikan. Dari sudut matanya, Atsumu juga bisa melihat Oikawa duduk di atas meja sambil mengalungkan lengannya di leher Iwaizumi, bersilat lidah tanpa memedulikan sekeliling mereka. Sementara, Suna, Semi, dan Sakusa sudah menghilang entah kemana.

Tiba-tiba merasa pusing, Atsumu dengan sempoyongan merangsek ke luar bangunan club untuk mencari udara segar. Di luar, ia mendapati Sakusa sedang merokok di area parkiran.

Atsumu lalu memanggil nama Sakusa sambil berjalan ke arahnya, tetapi ditengah jalan keseimbangannya oleng dan ia nyaris tersungkur ke tanah.

Namun sebelum hidungnya dapat menyentuh aspal, Atsumu merasakan adanya dua tangan kokoh menopang tubuhnya. Saat ia menoleh ke atas, ia disambut oleh wajah tanpa masker Sakusa. Wajah mereka begitu dekat sehingga ia bisa melihat semburat kecokelatan di mata hitam Sakusa. Mereka berdua terdiam di posisi itu untuk sejenak, dan Sakusa juga tidak menarik lengannya dari tubuh Atsumu.

Tidak ada hal istimewa yang terjadi. Benang merah yang mengikat jari manisnya tidak bergerak satu senti pun. Jauh di dalam gedung, sayup-sayup terdengar suara dentuman bass, terlupakan oleh keduanya.

Mungkin karena pengaruh alkohol yang mengalir di pembuluh darahnya, mungkin karena Sakusa tampak begitu tampan di bawah sinar rembulan—mungkin karena Atsumu kesepian dan lelah melihat pasangan-pasangan yang sudah terhubung oleh benang merah dimana-mana—Atsumu menarik wajah pria itu dan menciumnya dalam keheningan malam itu.

Awalnya, Sakusa hanya terdiam kaget, namun beberapa detik kemudian ia menarik Atsumu mendekat dan balas membalas ciumannya. Sakusa terasa seperti campuran pahitnya alkohol, rokok, dan juga secercah rasa permen mint. Di sela ciuman mereka, Sakusa menurunkan wajahnya ke leher Atsumu dan memberikan isapan-isapan kecil disana, membuat Atsumu perlahan kehilangan akalnya. Tak lama Sakusa lalu memberikannya sebuah kecupan singkat lagi di bibirnya sebelum akhirnya menarik diri.

“Miya,” panggil Sakusa.

“Ya?” saut Atsumu, nafasnya terengah-engah, masih berpegangan kepada lengan Sakusa.

“Tempat lo dari sini jauh gak?”

“Hah… oh enggak sih,” ujar Atsumu tidak fokus. “Apart gue deket sini sih…”

“Gimana kalo kita kesana?”

Atsumu pun tidak berpikir panjang sebelum mengiyakan.

Ia lalu membiarkan Sakusa membawanya pulang, mengenggam tangannya melewati kegelapan malam dan membiarkan dirinya didorong ke atas kasur, menggunakan tubuh satu sama lain untuk mengejar puncak kenikmatan masing-masing selama beberapa jam ke depan.

Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Atsumu bisa melupakan ketidakhadirannya seorang soulmate dalam hidupnya.

Di malam itu, ia membiarkan tangan dan mulut Sakusa menjadi temporary fix atas semua pikiran negatif yang menghantui dirinya belakangan ini.

“Ih jadi beneran!!” Tsutomu berteriak kegirangan begitu Tendou mengeluarkan sepiring besar pudding vanilla, lengkap dengan foamy whipped cream dan taburan potongan wafer di atas permukaannya.

“Jadi dong, masa enggak,” ujar Tendou sambil mengedipkan sebelah matanya. “Nih karena kalian tadi bikin tiga resep, yang satunya kalian makan aja sekarang!”

Tsutomu, Tobio, dan Hinata berteriak kegirangan. Saat itu mereka sedang berada di dapur Bakery Chocotori. Sesuai janji Tendou, ia sedari tadi membantu tiga anak itu (Hinata sebenarnya beda kelas, ia hanya ikut meramaikan saja) untuk membuat dessert berupa pudding. Sebenarnya, ketiga anak itu hanya bertugas menimbang dan mengaduk sebentar bahan-bahannya saja, sisanya Tendou yang melakukan semuanya selagi mereka menonton dengan takjub.

“IH ENAK RASANYAA!!” ujar Hinata histeris, sambil menyuapkan sepotong kepada Tobio. “Tomu sini cobain juga!”

“Ih suap-suapan kayak orang udah nikah aja,” cibir Tsutomu sambil mengambil sendok sendiri.

Tendou tertawa geli melihat tingkah heboh ketiga anak itu. Harusnya hari ini bukan jadwal dia berjaga di bakery—sekarang Shirabu yang sedang menjaga kasir—tapi ia dengan senang hati meminjamkan dapurnya ke anak-anak itu. Hal itu juga mengalihkan pikirannya dari kekalutan yang dialaminya selama seminggu terakhir akibat kesalahpahamannya dengan ayah Tsutomu.

Namun, tentu saja hidup tidak semudah itu.

Tiba-tiba Shirabu memunculkan kepalanya dari balik pintu dapur, wajahnya terlihat ragu-ragu. “Kak, ada yang nyari kakak.”

Tendou menaikkan alisnya. “Pelanggan?”

“Ngg… not exactly pelanggan sih,” Shirabu meringis. “Apa aku suruh masuk kesini aja? Anaknya ada di dalem sini…”

Anaknya ada di dalem sini…

“HAH?? Dia dateng kesini?” Begitu Shirabu mengangguk, Tendou langsung mendesis, “Bubu, gue belom siap anjir… suruh pulang aja dong.”

“Hah, kakak gila?” Shirabu memutar bola matanya. “Lagian katanya kakak mau clear things out sama dia? Aku tau kakak belom berani ngomong sama dia kan dari kemaren-kemaren, nah ini pas banget tuh orangnya dateng.”

Tendou. menggeleng dengan panik. “Ya tapi ini terlalu tiba-tiba! Mana ada anaknya pula?!”

“Kak ini demi kebaikan kakak,” Shirabu menarik paksa Tendou keluar dari dapur. “Cepet temuin dia, mumpung itu anak-anak juga lagi sibuk makan.”

Tendou memelototi pegawai sekaligus teman lamanya itu, tapi sebelum ia sempat protes lebih lanjut, di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mata sehijau helai-helai daun pohon di depan tokonya.

Terdengar suara bariton pria itu, “Hai, Tendou.”

“Halo… Wakatoshi,” Tendou menjawab, sembari berusaha menenangkan debaran jantungnya.

“Saya mau minta maaf.”

“Karena…?”

“Seharusnya dari awal saya lebih terbuka tentang kehidupan pribadi saya,” ujar Ushijima. Wajahnya datar, tapi terdengar sebersit urgensi dalam nada suaranya. “Andai saja saya begitu, kesalahpahaman ini bisa terhindari. Saya minta maaf.”

Tendou menghela nafas. “Aku yang seharusnya minta maaf,” ujarnya, berusaha mengumpulkan keberanian. “I mean, it would have been nice knowing you have a kid, tapi aku juga sembarangan berasumsi kemaren. Pas kamu dateng kesini terakhir, kukira itu kamu ditelfon sama… pasangan kamu.”

“Oh,” Ushijima terdiam. “Ibunya Tsutomu—anak saya—sudah gak ada sejak lama. Itu yang saya telfon waktu itu anak saya.”

Tendou meringis. “Iya aku udah dikasih tau sama Tsutomu... makanya aku minta maaf juga abis itu ngusir kamu.”

“Gapapa,” sahut Ushijima, sebelum tersadar akan sesuatu. “Eh, maksudnya kamu dikasih tau Tsutomu apa—”

Kalimat Ushijima dipotong oleh derapan langkah kaki kecil yang diiringi suara cempreng. “Om Tendou!! Puddingnya udah kita abisin soalnya enak banget… LOH PAPA?!”

“Tomu?” Ushijima tertegun. “Kamu ngapain disini… kok kamu dari belakang sana? Katanya kamu lagi kerja kelompok di rumah Tobio?”

Tsutomu langsung meringis merasa bersalah. “Kerja kelompoknya disini maksudnya…”

Tendou sendiri langsung menoleh dengan panik ke anak itu. “Lah kamu belom izin ke papa kamu? Kan Om bilang kemaren kamu harus izin dulu...”

“Habis Papa lagi sedih banget dari kemaren-kemaren… jadinya aku gak mau ngerepotin papa soal tugas masak ini… eh terus Om Tendou nawarin mau bantuin pas aku cerita, yaudah aku kesini sekalian bikin ini pudding ini,” dengan takut-takut, Tsutomu kemudian mengulurkan satu loyang vanilla pudding yang ia masak. “Ini puddingnya sengaja aku mau bikin 3 loyang soalnya biar satu lagi surprise buat Papa… Siapa tau bisa ngehibur Papa…”

Ushijima lalu berlutut dan memeluk anak semata wayangnya itu. “Makasih ya Tomu,” ujarnya. “Kamu baik banget. Tapi ini gak membenarkan kamu buat bohong sama Papa, ya? Kamu juga jadi ngerepotin Om Tendou kan, ini.”

“Eh engga kok! Santai aja,” Tendou buru-buru menyahut. “Emang aku yang nawarin kok!”

“Maaf ya Papa,” ujar Tsutomu dengan suara pelan, sambil memeluk ayahnya semakin kencang.

“Iya gapapa.” Setelah melepas pelukannya, Ushijima melirik ke arah Tendou dan Tsutomu secara bergantian dengan bingung. “Ngomong-ngomong, sebenarnya awal kalian kenalnya gimana sih? Tomu katanya dulu pernah kesini sama Tobio?”

Tsutomu mendadak langsung memucat, teringat kesalahpahaman saat kedatangan pertamanya di bakery ini. Tapi perlahan, dia mulai mengakui semuanya dari awal— dari masalah pelet hingga roh jahat.

Ushijima benar-benar tertegun mendengar pengakuan anaknya, bahkan cukup marah, namun ia berusaha tidak menunjukkannya mengingat mereka sedang berada di tempat umum.

Namun, ia tetap menegur Tomu karena telah sembarang menuduh orang lewat text, bukannya mengonfirmasi kebenarannya dulu pada sang ayah. “Kamu jangan sembarangan chat orang kayak gitu lagi ya, apalagi sampai dateng kesini kayak kemaren. Itu gak sopan, papa gak pernah ngajarin kamu begitu. Untung Om Tendou baik, udah maafin kamu.”

“Iya, pa maaf,” ujar Tsutomu dengan mata berkaca-kaca. “Tomu gak akan gitu lagi…”

“Iya. Jangan bohong lagi tapi ya sama Papa.”

Tendou memperhatikan pasangan ayah-anak itu sambil tersenyum. Ia sendiri sudah lama tidak memusingkan kejadian pelet itu, tapi ia mengerti pastinya orang tua yang mengetahui anaknya bohong akan kelabakan juga.

“Tapi aku tahu kok sekarang, ternyata Papa kesini terus bukan karena dipelet!” ujar Tsutomu, setelah air matanya mulai reda. “Tapi karena Papa suka kan sama Om Tendou?”

Jdeg. Tendou langsung membatu di tempatnya berdiri, semburat merah menghiasi wajahnya. Begitu pula Ushijima, ia hanya mematung kehilangan kata-kata.

“Gapapa, pa kalo papa mau suka! Om Tendou orangnya baik banget!”

Aduh anak kecil ini memang ya…

Tanpa sepengetahuan dua orang yang sedang dibalut asmara itu, Shirabu bersama dengan Hinata dan Kageyama menonton geli dari balik pintu dapur semua drama yang sedang terjadi di bakery itu.